
Umat Islam selama ini melanggengkan ibadah yang bercampur dengan budaya lokal. Semisal, selamatan 7 hari, 40 hari dan 100 hari, tradisi haul, peringatan hari besar Islam, talqin, tahlilan, yasinan, manaqib, ziarah kubur, sekaten, doa bersama setelah salat, puji-pujian, salawatan dan membaca berzanji.
Praktik-praktik seperti itu di tolak Majlis Tafsir Al-quran (MTA) yang perpusat di Surakarta. Mereka beralasan praktik tersebut tidak pernah di contohkan oleh Nabi dan sahabat maka ibadah tersebut termasuk dalam kategori bid'ah, dan semua bid'ah dalam pandangan MTA adalah sesat. Bahkan diancam masuk neraka. Padahal penyebaran agama Islam yang di bawah Walisongo memadukan tradisi lokal dengan dakwah seperti Sunan Kalijaga mengunakan metode Wayang untuk menyebarkan dakwahnya.
Organisasi keagamaan yang mengatasnamakan pemurnian ajaran Islam ini melukai para pengikut organisasi keagamaan lain seperti Nahdlatul Ulama (NU), kalangan tarekat dan Islam kejawen. Tak ayal jika pendirian cabang MTA, sebagian di tolak masyarakat setempat seperti di kota Kudus, Purworejo dan sebagainya (halaman, 113).
Memperkuat ajaranya, MTA mengunakan 24 kitab untuk dijadikan rujukan. Pertama bidang Al-quranur’an/tafsir Al-quran, ada enam rujukan., yaitu: Al-qurandan Terjemahnya oleh Departemen Agama RI, Tafsir Ibnu ‘Abbas oleh Ibnu Abbas, Tafsir Al-quranal AŻīm oleh Ibnu Kasir, Tafsir Al-Manār oleh Muhammad Abduh (yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Rasyid Rida, Al-Jawāhir oleh ṭanṭawīJauharīdan Tafsir Jalalain oleh Jalāl al-Dīn al-Suy ūṭīdan Jalāl al-Dīn al-Mahalli.
Selanjutnya bidang hadis, ada 13 kitab, yaitu: ṡaḥīḥ al-Bukhārī, ṡaḥīh Muslim, al-Musnad, Sunan AbīDaw ūd, al-Mu’jam al-Kabīr, Sunan al-Tirmizī, al-Mustadrak, al-Muwaṭṭa, Sunan al-Nasā’i, Riyāḍ al-Ṡāliḥīn, Silsilat al-Aḥādīs al-ḍa’īfah wa al-Mauḍ ū’ah, Nail al-Auṭār dan Kanz al-‘Ummāl. Terakhir, bidang ilmu kalam/tauhid hanya dua kitab yang dipergunakan oleh MTA, yaitu: Madārij Madārij al-Sālikīn ditulis oleh Ibn Al-quranayyim al-Jauziyah yang merupakan murid Ibn Taimiyah dan al-Firqah al-Nājiyah yang ditulis oleh Muhammad bin Jamil Zainu (halaman 179).
Buku 300 halaman ini membeberkan gerakan keagamaan seperti Persatuan Islam (Persis), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), al-Irsyad dan MTA mengusung kredo “kembali kepada Al-quran dan Sunnah”. Mereka berkomitmen tinggi mengembalikan kehidupan masyarakat yang Islami berdasarkan Al-quran dan Sunnah. Namun mengingat kapasitas dan kemampuan manusia sangat bervariasi, artinya tidak setiap orang mempunyai kapasitas dan wewenang untuk berijtihad atau mengeluarkan fatwa hukum.
Akulturasi Budaya
Ajaran Islam masuk ke Indonesia melalui pendekatan budaya. Tak heran jika Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, ajarannya berjalan harmonis dengan budaya lokal tanpa adanya gesekan yang mengkhawatirkan. Namun perjumpaan Islam dengan budaya industri-modren, menjadi tantangan bagi umat yang harus direspon secara kreatif, sehingga tidak menimbulkan gesekan yang merugikan kerukunan antar umat beragama.
Respon kreatif pernah dipraktikan oleh Nabi Muhammad saw. Semisal budaya ghilah yang ada di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. Ghilah adalah menyebadani isteri yang sedang hamil atau menyusui yang telah mendarah daging pada rakyat. Nabi pernah beringinan melarangnya. Tetapi mengurungkan niatnya setelah mengetahui bahwa ghilah yang dilakukan bangsa Persia dan Romawi ternyata tidak menimbulkan akibat buruk bagi anak-anak mereka (HR Muslim dari Judzamah binti Wahab).
Contoh yang lain budaya menerangi masjid dengan lampu yang terinspirasi dari Gereja Kristen; dan penerimaannya untuk menggunakan strategi penggalian parit (khandaq) di sekeliling Madinah untuk menghadang musuh, yang diusulkan oleh Salman al-Farisi yang mendapatkan inspirasi dari praktik perang Bangsa Persia.
Dari sinilah terlihat bahwa nabi tidak hanya mengajarkan tentang Al-quran tetapi melakukan substitusi untuk memperkaya kebudayaan Islam. Hal ini dipertegas dalam Al-quran, 62:2. Sikap budaya kreatif seperti itu bisa dipastikan termasuk hikmah yang diajarkannya kepada mereka (halaman 78).
Di sisi lain buku ini menyajikan prinsip kerukunan masyarakat Jawa yang terdapat dalam Serat Wuruk Respati. Pertama kerukunan bukan terletak pada upaya penciptaan keselarasan sosial, melainkan pada usaha untuk tidak mengganggu keselarasan yang (diandaikan) sudah ada. Kedua menuntut setiap individu agar mencegah segala upaya kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Ketiga penjagaan keselarasan dalam pergaulan dan sebagainya. (halaman 272).
Dalam catatan sejarah Al-quran, menunjukan nabi-nabi yang memiliki kekuatan atau tidak memiliki kekuatan secara militer. Ia lebih memilih jalan damai dalam menjalankan dakwahnya. Semisal Nabi Sulaiman yang memiliki kekuatan besar memilih jalan damai dengan berkirim surat pada Ratu Raba dan Nabi yang tidak memiliki kekuatan terpaksa mengungsi yakni nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Muhammad.
Konflik bernuasa kebenaran akan menimbulkan ketegangan di kalangan organisasi keagamaan di Indonesia. Hal ini umat Islam bisa saja tersingkir dari panggung sejarah dunia karena mengalami keterasingan dan kegagapan dalam menjalani kehidupan beragama.
Dirensensi Oleh Fathurozi, Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Identitas Buku
Judul : Harmonisasi Umat Beragama
Penulis : Hamim Ilyas, Dkk.
Penerbit : CV. Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Tahun : Cetakan I, Desember 2012
Tebal : x+300 halaman
ISBN : 978-602-7731-24-0
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !