Cover buku "Kritik
Tanpa Solusi, Memoar Anomali dan Teologi Zaman." Menarik pemabaca, apa
lagi judul yang bikin penasaran. Kesan yang tampak berani mengkritik tapi tak
memberikan solusi. Mengkritik itu mudah, sebaliknya solusi itu sulit karena mengkritik
tidak butuh musyawarah, sementara solusi membutuhkannya (halaman 526). Padahal
kritik dan solusi saling berkaitan, solusi muncul dari adanya kritik.
Bagi orang yang pola pikir egois akan
mengatakan kritik tidak harus selalu memberikan solusi. Kritik yang tidak
dibarengi dengan solusi akan menimbulkan beragam asumsi. Semisal demo mahasiswa,
yang tiap aksinya selalu mengkritisi kebijakan pemerintah.
Menuntut solusi dalam setiap kritik sama
halnya menjerumuskan diri dalam masalah yang lebih rumit karena belum tentu
keinginan pribadi yang tercermin dalam gagasan kritik mencakup masalah bersama.
Kritik yang demikian bukan membawa kemajuan (konstruktif), namun kemunduran
(destruktif) (halaman 527).
Pada sub pembahasan "Teologi Kampus dan
Amanat Pendidikan,” mengulas tentang kondisi intelektual mahasiswa di Indonesia,
bahkan penulis lebih genit mengatakan mahasiswa memiliki empat dosa besar. Dosa
besar yang dimaksud yakni tidak suka membaca, tidak berdiskusi, malas bersosialisasi dan
malas menulis. Hal ini dikarenakan mahasiswa dilanda sikap hedonisme dan sikap
pragmatis sehingga sikap nalar intelektualnya sirna (halaman 10).
Mahasiswa terkena dosa tersebut akan megalami
kualitas keilmuan minim dan kesulitan mencari pekerjaan. Kesalahan ini tak
semata-mata disematkan pada mahasiswa tetapi pihak kampus juga harus ikut tanggung
jawab karena kurang mampu menciptakan sarjana-sarjana yang memiliki wawasan
luas dan jiwa intelektual.
Buku karya M. Abdallah Badri membeberkan
faktor penyebab tenggelamnya intelektual mahasiswa. Pertama kapitalisasi
pendidikan yang semakin meluas. Kedua kuliah
oriented, mahasiswa lebih memilih menyelesaikan tugas kuliahnya daripada
menjadi aktivis sosial yang kritis. Ketiga minimnya apresiasi kaum kritis, para
aktivis cenderung dijauhi kebanyakan masyarakat kampus (halaman 53).
Namun jika mahasiswa melakukan kesalaham itu
hal yang wajar karena masih belajar tapi sebaliknya ketika sudah menyandang
gelar sarjana masih melakukan kesalahan berarti kurang ngajar.
Kemudian sub "Budaya Populer Dan Teologi
Urban," menyajikan orientasi masyarakat yang terkena virus kapitalistik dan
individualistik. Jika menunggu campur tangan pemerintah untuk mengatur
mekanisme nalar semacam itu jelas akan menghabiskan energi, sebab ini adalah
wilayah budaya, bukan wilayah politik,
apalagi politik budaya.
Lain lagi dengan kekuasaan darah biru melahirkan
rasionalisme tidak mungkin mencapai substansi kesejahteraan yang sesungguhnya manakala semiotika kekuasaan
dalam darah biru masih mengakar kuat dalam paradigma budaya massa, yang selalu
melihat bobot dari bibit semata (halaman 106).
Lalu sub “Nalar Agama, Ritual Agama dan
Politik Keberagaman.” Mengambarkan tentang ritualitas keagamaan di masyarakat
kurang menyetuh substansi dan kualitas iman dan kurang pemahaman
praktik-praktik keagamaan. Masyarakat berpandangan sudah berkurban dianggap
sudah memberikan kontribusi besar kepada agama dan orang sudah haji, rukun
Islam dianggap sudah sempurna (halaman 235).
Dengan tebal 392 halaman. Buku ini terbagi
dalam tujuh kelompok. Pertama, Teologi Kampus dan Amanat Pendidikan. Kedua,
Budaya Populer dan Teologi Urban. Ketiga,
Nalar Agama,Ritual Agama dan Politik Keberagaman. Keempat, Teologi
Perempuan dan Gender Kosmopolitan. Kelima, Filsafat dan Politik
Teknologi. Keenam, Teologi Politik dan Kritik Kekuasaan. Ketujuh,
Buku dan Biografi Kegelisahan.
Dari sub ke sub pembahasan buku ini,
menyoroti peristiwa yang menyita perhatian khalayak umum mulai bidang
pendidikan, politik hingga sosial keagamaan. Bahkan kondisi daerah kelahiran
tak luput dari bidikannya. Tulisan cukup berbobot karena rata-rata penulisan
melalui pengamatan realita yang sedang terjadi dan diperkuat dengan referensi
buku.
Dalam sinopsi buku ini, ketika ada kritik,
ada kegelisahan peradaban. Indonesia menjadi bangsa yang cengeng karena mudah menghardik
kritik. Lebih fokus kepada solusi daripada fokus ke masalah, itu baik, namun
tanpa menguliti masalah dengan kritik, solusi hanya salep kesembuhan sementara.
Tulisan-tulisan berbentuk artikel esai pada
buku bunga rampai ini, sebagian besar karyanya telah dimuat media massa seperti
Koran Jakarta, Kompas, Jawa Pos, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Radar
Surabaya, Lampung Post, Suara Merdeka, Wawasan, Harian Semarang dan
sebagainya. Meskipun pernah beredar di
publik namun tak mengurangi selera membaca buku tersebut karena penuh kritik dan solusi yang bisa
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Identitas Buku
Judul : Kritik Tanpa
Solusi (Memoar Anomali dan Teologi Zaman)
Penulis : M Abdullah Badri
Penerbit : Diroz Pustaka, Semarang
Cetakan : I, Oktober 2012
Tebal : xii+392 halaman
ISBN : 978-602-77010-6-9
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !