Mengkritik itu Mudah, Yang Sulit Memberikan Solusi

Sunday, 29 September 2019


Oleh Fathurozi
Cover buku "Kritik Tanpa Solusi, Memoar Anomali dan Teologi Zaman." Menarik pemabaca, apa lagi judul yang bikin penasaran. Kesan yang tampak berani mengkritik tapi tak memberikan solusi. Mengkritik itu mudah, sebaliknya solusi itu sulit karena mengkritik tidak butuh musyawarah, sementara solusi membutuhkannya (halaman 526). Padahal kritik dan solusi saling berkaitan, solusi muncul dari adanya kritik.
Bagi orang yang pola pikir egois akan mengatakan kritik tidak harus selalu memberikan solusi. Kritik yang tidak dibarengi dengan solusi akan menimbulkan beragam asumsi. Semisal demo mahasiswa, yang tiap aksinya selalu mengkritisi kebijakan pemerintah.
Menuntut solusi dalam setiap kritik sama halnya menjerumuskan diri dalam masalah yang lebih rumit karena belum tentu keinginan pribadi yang tercermin dalam gagasan kritik mencakup masalah bersama. Kritik yang demikian bukan membawa kemajuan (konstruktif), namun kemunduran (destruktif) (halaman 527).
Pada sub pembahasan "Teologi Kampus dan Amanat Pendidikan,” mengulas tentang kondisi intelektual mahasiswa di Indonesia, bahkan penulis lebih genit mengatakan mahasiswa memiliki empat dosa besar. Dosa besar yang dimaksud yakni tidak suka membaca,  tidak berdiskusi, malas bersosialisasi dan malas menulis. Hal ini dikarenakan mahasiswa dilanda sikap hedonisme dan sikap pragmatis sehingga sikap nalar intelektualnya sirna (halaman 10).
Mahasiswa terkena dosa tersebut akan megalami kualitas keilmuan minim dan kesulitan mencari pekerjaan. Kesalahan ini tak semata-mata disematkan pada mahasiswa tetapi pihak kampus juga harus ikut tanggung jawab karena kurang mampu menciptakan sarjana-sarjana yang memiliki wawasan luas dan jiwa intelektual.
Buku karya M. Abdallah Badri membeberkan faktor penyebab tenggelamnya intelektual mahasiswa. Pertama kapitalisasi pendidikan yang semakin meluas. Kedua kuliah  oriented, mahasiswa lebih memilih menyelesaikan tugas kuliahnya daripada menjadi aktivis sosial yang kritis. Ketiga minimnya apresiasi kaum kritis, para aktivis cenderung dijauhi kebanyakan masyarakat kampus (halaman 53).
Namun jika mahasiswa melakukan kesalaham itu hal yang wajar karena masih belajar tapi sebaliknya ketika sudah menyandang gelar sarjana masih melakukan kesalahan berarti kurang ngajar.
Kemudian sub "Budaya Populer Dan Teologi Urban," menyajikan orientasi masyarakat yang  terkena virus kapitalistik dan individualistik. Jika menunggu campur tangan pemerintah untuk mengatur mekanisme nalar semacam itu jelas akan menghabiskan energi, sebab ini adalah wilayah budaya, bukan  wilayah politik, apalagi politik budaya.
Lain lagi dengan kekuasaan darah biru melahirkan rasionalisme tidak mungkin mencapai substansi kesejahteraan yang  sesungguhnya manakala semiotika kekuasaan dalam darah biru masih mengakar kuat dalam paradigma budaya massa, yang selalu melihat bobot dari bibit semata (halaman 106).
Lalu sub “Nalar Agama, Ritual Agama dan Politik Keberagaman.” Mengambarkan tentang ritualitas keagamaan di masyarakat kurang menyetuh substansi dan kualitas iman dan kurang pemahaman praktik-praktik keagamaan. Masyarakat berpandangan sudah berkurban dianggap sudah memberikan kontribusi besar kepada agama dan orang sudah haji, rukun Islam dianggap sudah sempurna (halaman 235).
Dengan tebal 392 halaman. Buku ini terbagi dalam tujuh kelompok. Pertama, Teologi Kampus dan Amanat Pendidikan. Kedua, Budaya Populer dan Teologi Urban. Ketiga,  Nalar Agama,Ritual Agama dan Politik Keberagaman. Keempat, Teologi Perempuan dan Gender Kosmopolitan. Kelima, Filsafat dan Politik Teknologi. Keenam, Teologi Politik dan Kritik Kekuasaan. Ketujuh, Buku dan Biografi Kegelisahan.
Dari sub ke sub pembahasan buku ini, menyoroti peristiwa yang menyita perhatian khalayak umum mulai bidang pendidikan, politik hingga sosial keagamaan. Bahkan kondisi daerah kelahiran tak luput dari bidikannya. Tulisan cukup berbobot karena rata-rata penulisan melalui pengamatan realita yang sedang terjadi dan diperkuat dengan referensi buku.
Dalam sinopsi buku ini, ketika ada kritik, ada kegelisahan peradaban. Indonesia menjadi bangsa yang cengeng karena mudah menghardik kritik. Lebih fokus kepada solusi daripada fokus ke masalah, itu baik, namun tanpa menguliti masalah dengan kritik, solusi hanya salep kesembuhan sementara.
Tulisan-tulisan berbentuk artikel esai pada buku bunga rampai ini, sebagian besar karyanya telah dimuat media massa seperti Koran Jakarta, Kompas, Jawa Pos, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Radar Surabaya, Lampung Post, Suara Merdeka, Wawasan, Harian Semarang dan sebagainya.  Meskipun pernah beredar di publik namun tak mengurangi selera membaca buku tersebut  karena penuh kritik dan solusi yang bisa diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. 
Diresensi Fathurozi,  Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang)

Identitas Buku
Judul               : Kritik Tanpa Solusi (Memoar Anomali dan Teologi Zaman)
Penulis            : M Abdullah Badri
Penerbit         : Diroz Pustaka, Semarang
Cetakan          : I, Oktober 2012
Tebal              : xii+392 halaman
ISBN                : 978-602-77010-6-9

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi