
Perkataan kiai atau ulama dipatuhi pengikutnya. Tak ayal kiai digandeng oleh partai politk atau calon kepala daerah untuk menjelung suara. Semisal pemilihan Gubernur DKI, Rhoma Irama mengeluarkan perkataan yang mengandung kekerasan suku, ras, agama, antargolongan (SARA).
Kasus di atas sebenarnya pernah terjadi pada pemilu 1977. Saat kampaye kiai Bisyri Syamsuri di hadapan ribuan massa melontarkan bahwa setiap muslim diharuskan memilih partai Islam. Ini menandakan Islam memberikan jalan bagi penganutnya untuk ikut terlibat dalam kehidupan berpolitik (halaman 58).
Kiai diposisikan sebagai pewaris Nabi. Kiai mempunyai pengaruh dan kedudukan sangat terhormat karena memiliki pengetahuan luas dan mendalam tentang Islam, sehingga menjadikan kiai memiliki otoritas yang layak dihormati dan segani tanpa reserve, sami’na wa atho’na (kami mendengar dan patuh).
Kehadiran kiai di tengah-tengah masyarakat begitu penting yaitu. Pertama, mobilitas kiai sangat tinggi dalam membangun jaringan dengan komunitas di luar, sehingga santri dan masyarakat mendapatkan informasi baru. Kedua, keberadaan kiai di salah satu desa menjadi sumber rujukan problematika persoalan agama. Ketiga, kiai umumnya memiliki kelebihan yang bersifat material dibanding dengan masyarakat sekitar.
Tak heran, jika kiai dijadikan rebutan oleh parpol untuk menjadi pembina partai karena kiai dianggap memiliki peran mempengaruhi pemilih dan kiai digandeng untuk memenangkan capres dan cawapres. Semisal pemilu 2004, Wiranto mengandeng Salahuddin Wahid (adik kandung Gusdur) dan Megawati Soekarnoputri berpasangan Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU 1999-2004). Namun mereka gagal meraih kursi R1 dan R2. Meskipun gagal dalam pencalonan, pengikutnya tetap setia atau mematuhi apa yang dikatakan seorng kiai.
Apapun yang dikatakan oleh kiai akan dijadikan referensi dalam kehidupan, bahkan hingga ke dunia politik. Padahal jika seorang kiai menjadi pejabat publik, pengikutnya kurang menikmati hasil dukungannya. Menguatnya kultur paternalistik, rujukan keagamaan dianggap sebagai presentasi sikap hidup, terkadang pilihan politik masyarakat berhubungan dengan sikap kiai.
Dengan tebal 179 halaman, menyajikan kiai diibaratkan makelar simbol yang berperan menerjemahkan bahasa politik ke dalam bahasa agama sehingga dapat dipahami para jama’ahnya. Hal ini untuk meraih simpati masyarakat agar memilih sesuai dengan politik yang dikehendaki oleh kiai. Namun daya tarik kiai pasca orde baru menurun karena cenderung mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya (halaman 82).
Buku ini membeberkan, fatwa politik seorang kiai tidak lagi dianut masyarakat karena sekarang masyarakat mengacu pada pertimbangan visi misi (seorang calon), program partai dan kapabilitas, akuntabilitas dan kredibilitas partai (seorang calon). Pertimbangan mereka semata adalah nilai agama berupa moralitas seorang tokoh dan mengikuti fatwa politik sang kiai secara otomatis tidak memberikan garansi yang benar (halaman 149).
Kiai yang terjun ke politik berdampak yakni pertama merosotnya karisma yang dimiliki, otoritas keagamaan akan semakin terkikis. Kedua peran yang sebagai benteng moral menjadi taruhan karena keterlibatan kiai. Predikat seorang teladan umat dengan sendirinya akan tercabut dari legitimasi sosial masyarakat (halaman 102).
Dalam sinopsis buku ini diterangkan kiai kerap diposisikan sebagai pressure group dan rulling clas yang pengaruhnya dapat melampaui pemimpin formal. Namun pasca reformasi persepsi masyarakat terhadap kiai mulai pudar tak istimewa dulu.
Kini pandangan masyarakat terhadap kiai berpolitik, moralitas kepemimpinan merosot karena politik dijadikan media meraih kekuasaan daripada penegakan amar ma’ruf nahi munkar sehingga fatwa-fatwa kiai yang mengenai agama tak dihiraukan umat. Buku ini hadir sebagai pelengkap buku penelitian yang mengenai tentang politik kiai.
Diresensi oleh Fathurozi, Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Identitas Buku:
Judul : Politik Kiai Vs Politik Rakyat Pembacaan Masyarakat terhadap Prilaku Politik kiai
Penulis : Muhibbin
Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Tahun : Cetakan I, 2012
Tebal : xvi+179 halaman
ISBN : 978-602-229-083-4
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !