Alternatif Penghayatan Keberagamaan di Indonesia

Friday, 6 September 2019


Oleh Fathurozi


Penganut agama mayoritas sering mengklaim bahwa Dia lah yang berhak menduduki jabatan presiden, anggota DPR, Menteri, Gubernur, Jenderal karena merasa memiliki kebenaran Tuhan dan sebaliknya. Sehingga memunculkan gejolak di kalangan penganut agama lain hingga sekarang. Semisal pilkada DKI.  Padahal keberadaan suku, agama, ras dan golongan dihadapan Tuhan sama, tak ada satu pun yang diistimewakan Tuhan.

Kelihatannya problem agama di Indonesia tak akan pernah usai, jika masih mewarisi agama eksklusivisme berdampak pada penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Berdasarkan Universal Declaration of Human Rights di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 memberi jaminan kebebasan seorang individu untuk mengekspresikan dirinya secara utuh, dalam bidang keagamaan, politik, ekonomi dan sosial. Namun pelaksanaan para penganut agama tak mengindahkan kesepakatan itu (halaman 2).

Jika kita ditengok perjalanan keberagamaan di Indonesia seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan implikasinya terhadap batang tubuh UUD 45. Pertama kata Mukadimah diganti kata Pembukaan. Kedua “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” diganti “Ketuhanan Yang Maha Esa...”

Ketiga pasal 6 “Presiden ialah orang Indonesia asli beragama Islam,” diubah menjadi “Presiden ialah orang Indonesia asli.” Lalu pasal 29 ayat 1, “Negara berdasarkan ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” diganti menjadi “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa...” Terakhir “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa” diganti menjadi “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa...” (halaman 31)

Dengan hadirnya kenyataan bangsa dan negara Indonesia tahun 1945 dengan religiositasnya itu, hadir suatu bentuk keberagamaan yang melampaui batas-batas konvensional yakni religiositas yang transformatoris karena ia menuntut pemahaman yang melewati batas kebenaran ajaran dan dogma hasil pergumulan manusia dalam agama-agama tertentu dan menempatkan diri sebagai manusia yang bertuhan,(halaman 59).

Secara budayawi konsep Tuhan dan Ketuhanan Yang Maha Esa disebut Pancasila. Konsep ini hasil dari dinamisme sosial historis bangsa Indonesia terhadap keragaman budaya dan memenuhi kebutuhan utama manusia. Semisal tiap individu menjadi sederajat (equally) dan manusiawi (humanly), (halaman 153).

Konsep tersebut merupakan konsep inklusif dan transformatif sehingga menciptkan beradaban baru yang mengizinkan kelompok minoritas diperlakukan sederajat. Jika dibandingkan dengan agama-agama besar di dunia, peradaban di Indonesia paling unik. Namun terkadang konsep ini di nodai oleh beberapa pemimpin Indonesia melalui praktek-praktek diskriminasi terhadap masyarakatnya sendiri, (halaman 154).

Buku “Religiositas di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan Tranformasi Agama-agama” membeberkan semua rakyat Indonesia memiliki hak menjadi presiden karena rakyat Indonesia adalah mereka yang tersebar dari Sabang sampai ke Maluku dengan agama mereka masing-masing, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, juga Kaharingan, Aluk ta dolo, Perbegu, Marapu.

Para pemeluk agama mengakui ada suatu kekuatan yang melampaui keberadaan mereka (transendental) dan bersama-sama mereka menyapa Dia sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa, itulah yang memproklamasikan kemerdekaan mereka. Semisal keberagamaan Yahudi Dia disebut Yahweh, dan Islam (Allah S.W.T). Kristen (Allah Tritunggal), Konghucu (Thian), dan Aluk ta dolo dari Toraja disebut Puang Matua.

Sayangnya, generasi penerus bangsa ini melupakan apa yang dirumuskan para pendiri bangsa ini. Semisal kesepkatan 18 Agustus 1945 diundangkan dalam Berita Repoeblik Indonesia tanggal 15 Febroeari tahun 1946. Hal ini terjadi pengingkaran terhadap kesepakatan para pendiri bangsa, yaitu dengan tetap menggunakan kata Allah dalam alinea ketiga pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, (halaman, 40). Hal ini menghilangkan warisan nilai yang terindah bangsa Indonesia, yaitu penghargaan kemanusiaan yang luhur, yang tidak eksklusif.

Di sisi lain para pendiri bangsa Indonesia berhasil merumuskan suatu posisi hubungan antar agama yang tidak eksklusif, berbeda sekali dengan posisi hubungan antar agama yang eksklusif sebagaimana dimiliki agama-agama di dunia. Hal ini menjadi alternatif penghayatan keberagamaan yang dibutuhkan di masa depan.

Buku ini mengunakan pendekatan sosio-historik dalam pembahasan teoretis yang mendalam sehingga dapat dijadikan acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.


Diresensi Oleh Fathurozi, Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Judul : Religiositas di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan tranformasi agama-agama

Penulis : John A. Titaley
Penerbit : Satya Wacana University Press, Salatiga
Cetakan : Pertama 2013 
Tebal : 194 halaman 
ISBN        : 978-979-8154-49-2






0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi