Oleh Fathurozi
Indonesia
tak bisa terhindar dari namanya konflik suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA).
Konflik ini hampir setiap tahun terjadi, padahal berbagai cara
dilakukan pemerintah dan penggerak kerukunan mulai dari diskusi, seminar dan
workshop berbasis kerukunan dalam memutus rantai konflik. Namun konflik tetap
terjadi dalam masyarakat yang majemuk.

Konflik yang berbau SARA yang terjadi di
Indonesia dan dunia internasional, sebabkan adanya pemaksaan identitas tunggal.
Identitas tunggal memandang identitas lainnya penuh kecurigaan, tak ayal
kekerasan semakin membara. Padahal identitas bisa dijadikan kekuatan dalam
menjalin hubungan antar kelompok keagamaan.
Identitas menjadi penting dalam tataran
pemerintahan, orang tanpa identitas tak akan mendapatkan haknya sebagai warga
negara. Semisal kasus anak dari aliran kepercayaan tidak naik kelas karena tidak
mau mengikuti pelajaran agama yang diakui pemerintah. Kelihatannya identitas
takdir yang harus melekat pada tiap manusia.
Dalam buku “Kekerasan dan Identitas” karya
Amartya Sen. Sen mengutarakan dalam penggunaan identitas terdapat dua kesalahan
yakni. Pertama, memahami bahwa identitas itu secara mutlak bersifat majemuk,
dan bahwa taraf kepentingan suatu identitas tidak harus meniadakan kepentingan
identitas lainnya. Kedua, seseorang harus mengambil pilihan secara tegas
ataupun tidak mengenai kepentingan relatif manakah yang harus diberikan sesuai
konteksnya, di antara berbagai kesetiaan dan prioritas yang mungkin saling
berebut untuk diutamakan.
Adanya pengotakan identitas seperti agama,
etnis, ras akan menimbukan kekerasan karena kecintaanya terhadap kelompoknya
melebihi segalanya. Tak heran, jika identitas sering dijadikan alat untuk
kepentingan kelompoknya. Sen menceritakan kekerasan komunal di India antara
Hindu-Muslim, peristiwa ini terjadi karena adanya pimpinan yang memelintir identitas. Mereka mendoktrin pengikutnya, dengan
mengatakan orang Hindu atau orang Islam yang harus balas dendam pada komunitas
lain (halaman 221).
Buku dengan tebal 242 halaman mengunakan analisa kritis.
Sen mengkritik Samuel Huntington yakni. Pertama, teori “benturan peradaban” yang
mengambarkan “India sebagai peradaban Hindu” merupakan kesalahan besar karena
mengabaikan fakta. Menurut Sen, India memiliki penduduk Muslim terbanyak ketiga
di dunia. Kurang lebih tercatat 145 juta penduduk muslim di India. Kedua, teori
kategorisasi keagamaan seperti peradaban Islam, peradaban Hindu. Sen menjelaskan
dengan adanya kategorisasi ini membuat kesalahan karena melihat manusia dari
afiliasi tunggal yakni agamanya.
Multikulturalisme
Islam dewasa ini menjadi agama yang paling banyak diperdebatkan.
Sebagian orang berpikir, Islam
mencetak fanatisme dan kekerasan. Padahal agama Islam adalah agama damai dan
memiliki daya pikat spiritual yang dalam. Namun jika agama dilibatkan dalam poiltik akan
menimbulkan perpecahan. Contohnya Spanduk yang bertuliskan “'Masjid Ini Tidak
Mensholatkan Jenazah Pendukung dan Pembela Penista Agama” menjelang putaran
kedua pilkada DKI. Spanduk ini memunculkan pro kontra di kalangan kaum muslim.
Menurut Sen, menjadi Muslim hampir
mustahil menjadi satu-satunya indentitas yang dimiliki seorang Muslim. Contohnya
kejadian 11 September pengeboman World Trade Center (WTC) menempatkan kubu umat
Muslim saling berseberangan. Hal ini menandakan kaum Muslim tanpa harus
meninggal identitas Islamnya dalam menyikapi peristiwa tersebut.
Pasca peristiwa pengeboman WTC sangat
penting memahami identitas Muslim yakni. Pertama, memandang kaum Muslim
semata-mata atau terutama dalam kerangka keIslaman mereka. Kedua, memahami
mereka secara lebih luas dalam kerangka afiliasinya yang beragam (halaman 91).
Terkadang dikalangan muslim kurang mampu
melihat perbedaan antara menjadi seorang muslim dan memiliki identitas Islam
akan terusik dan bertanya ‘Manakah pandangan yang benar menurut Islam? Apakah
Islam mendukung toleransi, atau tidak? Manakah yang sesungguhnya benar?’
Persoalan utama yang kita hadapi di sini bukanlah apa jawaban yang tepat untuk
pertanyaan di atas, melainkan apakah pertanyaannya itu sendiri tepat. Menjadi
seorang muslim bukanlah suatu identitas mutlak yang menentukan segala keyakinan
orang yang bersangkutan” (halaman 84).
Pada tahun 1998 , Amartya Sen menerima
penghargaan Nobel bidang ekonomi atas karyanya dalam “Ekonomi Kesejahteraan”.
Menurut laki-laki kelahiran India, Penganut identitas
tunggal kurang memperdulikan sikap
toleransi. Padahal tolerasi sangat penting diterapkan dalam masyarakat
multikultural.
Sen menunjukan sebagian besar sarjana
Muslim menolak mentah-mentah klaim bahwa ajaran Islam mewajibkan atau
membolehkan dan bahkan mentolerir terorisme. Buku ini mengajak pembaca
merenungi konflik-konflik keagamaan yang terjadi di belahan dunia.
Menurutnya,
setidaknya ada dua pendekatan berbeda dalam memandang multikulturalisme. Pertama, memandang bahwa menggencarkan multikulturalisme itu sudah dengan
sendirinya merupakan nilai yang mesti dibela. Sementara pendekatan yang lain
berfokus pada kebebasan dalam menalar dan mengambil keputusan.
Buku
ini, menelusuri isu-isu multikulturalisme, pasca-kolonialisme, fundamentalisme,
terorisme, dan globali-sasi. Identitas yang kini menjadi pemicu utama
pertikaian-pertikaian kontemporer. Buku ini layak dibaca untuk menambah wawasan
pengetahuan tentang konflik yang terjadi Indonesia dan Dunia internasional.
Diresensi
Oleh Fathurozi Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Dimuat
di Jurnal Dialog Vol.40, No.1, Juni 2017
Identitas
Buku
Judul : Kekerasan dan Identitas
Penulis : Amartya Sen
Terjemahan : Arif Susanto
Penerbit : Marjin Kiri Jakarta
Cetakan : Edisi 2, Februari 2016
Tebal : xxii+242 Halaman
ISBN : 978-979-1260-54-1
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !