Oleh
Fathurozi

Materi agama yang
diajarkan di sekolah kurang menyentuh hubungan antarumat beragama.
Namun tidak mudah untuk
mengajarkan nilai-nilai tolerasi pada siswa. Bahkan buku-buku yang membahas nilai-nilai
tolerasi dan multikultural diperpustakaan sekolah kurang memadai. Padahal buku
yang di baca siswa sering kali dijadikan acuan dalam bersikap dan bertindak.
Kelihatanya telah
terjadi pergeseran dalam kegiatan belajar, sementara siswa hanyalah sebagai
objek, sehingga apa yang diajarkan oleh gurunya itu yang paling benar dan
dipraktekan pada kehidupan sehari-hari. Ironis memang, jika siswa menemukan
sesutau yang berbau radikal, siswa tak berani menyampaikan pada sang guru.
Padahal pendidikan
agama diharapkan dapat membentuk peserta didik sebagai generasi terpelajar yang
memiliki kecerdasan kognitif melalui pengetahuan umum dan pengetahuan
keterampilan serta memiliki kecerdasan emosional dan spiritual.
Berdasarkan Survei
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang
Pranowo, yang juga guru besar sosiologi Islam di UIN Jakarta, pada Oktober 2010
hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Sedangkan
25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Kemudian 52,3%
menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama.
Melemahnya nilai persaudaraan, menguatnya
nasionalisme kesukuan, aksi tawuran antar kampung, bentrok kelompok
masyarakat karena perbedaan keyakinan,
sampai pada aksi teror yang menggunakan isu agama sebagai legalitas moralnya
adalah bukti lemahnya identitas moral. Sehingga siswa rela melakukan kekerasan,
padahal menyalahi hak-hak hidup individu dan kelompok lain.
Menangkal Radikalisasi
Pengajaran PA bersifat
privat dari sini lah pemerintah menyediakan guru agama Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Namun yang terjadi guru mengajarkan seputar
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya. Sehingga siswa kurang
bisa menghargai perbedaan keyakinan.
Dalam buku berjudul
“Pendidikan Pasca konflik, Pendidikan Multikultural Berbasis Konseling Budaya
Masyarakat Maluku Utara” Karya Dr. M.
Tahir Sapsuha (2013). Pendidikan agama kurang menyentuh pengembangan
sosial dan horisontal karena materi yang diajarkan sekadar Iman, Ibadah dan
etika dalam pendidikan agama Islam, serta pengetahuan tentang sejarah gereja,
iman Kristen, dan etika kristiani dalam pendidikan Agama Kristen lebih
menekankan pada dogma-dogma agama masing-masing.
Menurut Tahir lagi,
pengajaran seperti ini menjadikan agama kelihatan tidak ramah dan ada
kecenderungan kekerasan atas nama agama wajib hukumnya. Bila merujuk PP Nomor
55 Tahun 2007 Bab II Pasal 2, "Pendidikan agama berfungsi membentuk
manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhklak mulia dan mampu menjaga kedamaian serta kerukunan inter dan
antar-agama. Namun di lapangan sekolah kurang menerapkannya.
Sejatinya PA bisa
digunakan sebagai filter moral bagi anak didik ketika bergaul dengan teman di
sekolah ataupun di rumah. Sehingga membentuk karakter manusia berakhlak mulia.
Namun orang tua kurang
kontrol terhadap perubahan si anak, mungkin saja para wali murid tak perlu
mengajarkan agama di rumah karena sudah mendapatkan agama dari sekolah.
Dough Monk dalam
penelitiannya di Humble Texas menemukan bahwa
kurikulum sekolah yang lebih banyak mengajak murid untuk berinteraksi
dalam kegiatan-kegiatan sosial dan mengembangkan kepekaan mereka, telah
memberikan dampak positif dalam perubahan belajar, kepedulian dan rasa hormat
kepada staf sekolah serta keterlibatan para siswa secara sukarela dalam
proyek-proyek kemanusiaan (Brooks 2005).
Perubahan paradigma dan
performa para pelaku pendidikan dalam hal ini guru agama baik dari segi
orientasi, isi maupun metodologi mengarahkan anak didik pada tugas rumah untuk
mengamati prilaku sosial keagamaan dilingkungan tempat tinggal dan guru memberikan
jawaban semaksimal mungkin.
Hal ini akan meransang
anak didik berfikir, daripada hanya menerima materi-materi terus menerus tanpa
dipraktekkan dilapangan.
Pelajaran agama
sebaiknya mengacu pada perubahan realita sosial dikalangan masyarakat.
Menangkal radikalisasi tidak semata-mata tugas pendidik melainkan tugas kita
bersama.
Masyarakat bisa ikut
andil dengan cara menghidupkan kembali tradisi lokal seperti gotong royong
sehingga akan menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis di
tengah perbedaan.
Penulis adalah Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang)
Dimuat Radar Tegal, 20 Juli 2018
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !