Menanti Jokowi Ngamuk

Friday, 24 April 2015

Oleh Fathurozi
Perseteruan Polri Vs KPK tak kunjung usai, bahkan keduanya saling serang. Manuver yang dilakukan kerapkali membingungkan masyarakat. Tampak dipermukaan seakan-akan kedua lembaga tersebut  tak ada kepentingan politik apapun. Namun rakyat tak begitu saja mempercayainya.
Di perparah lagi dengan organisasi masyarakat (Ormas) yang mendukung KPK dan ada pula yang memihak Polri. Saling serang antara kedua kubu, menjadikan masyarakat anti pati pada penegak hukum. Kebingungan ini, juga melanda presiden Jokowi yang diusung oleh koalisi Indonesia hebat (KIH). KIH mendesak presiden untuk segera melantik Budi Gunawan tetapi akhirnya tidak jadi dilantik menjadi Kapolri.
Ternyata kegalauan Jokowi semakin menjadi ketika perseteruan kedua lembaga penegak hukum tak segera menemukan titik temu. Terkesan Jokowi membiarkan konflik berlarut-larut, ia masih mempertimbangkan kepentingan partai pengusung, karena tak segan-segan parpol mencabut dukungan pada pemerintah.
Megawati Soekarnoputri dalam pidato deklarasi koalisi PDIP, Partai Nasdem, dan PKB di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, 14 Mei 2014. Dia menyampaikan ”Saya pesan ke Pak Jokowi, sampeyan tak jadikan capres, tapi jangan lupa ingat capres-nya saja, Anda adalah petugas partai yang harus melaksanakan apa yang ditugaskan partai.”
Pesan Megawati mengisaratkan tiap kebijakan yang akan dijalankan pemerintah harus berdasarkan keputusan KIH, tak ayal Jokowi seakan-akan menjadi boneka parpol yang tak punya sikap. Padahal sejatinya parpol hanyalah fasilitator yang menyediakan tenaga jasa, kemudian diajukan pada rakyat dengan program yang mengiurkan. Rakyat berhak menolak tawaran itu, jika tidak sesuai dengan kebutuhan. Rakyat ibarat sebuah perusahaan yang setiap lima tahun membuka lowongan pekerjaan untuk spesifikasi jabatan presiden.
Jika presiden dalam bekerja memenuhi target, akan dipertahankan hingga kontraknya habis yakni lima tahun. Sebaliknya jika dinilai kurang memuaskan akan diberhentikan di tengah jalan. Hal ini yang harus menjadi pola pikir partai politik dalam pengusungan calon presiden dan wakil presiden, jangan sampai calon yang diajukan hanya sekadar penuhan hasrat elit partai.

Ngamuk
Kelihatannya kesabaran Jokowi mencapai titik jenuh, Ia mengundang Prabowo Subianto ke Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (29/1). Pertemuan ini konon membahas kisruh kedua lembaga penegak hukum. Setidaknya presiden ingin menunjukan penyelesain konflik dengan mengadeng beberapa tokoh atau elemen masyarakat.
Jokowi yang merupakan orang Jawa menerapkan karakteristik kejawaannya. Dalam buku “Babat Tanah Jawa” karya Soecipto Abimayu (2013).  Terdapat  tiga “Nga”simbol filosofi yang dimiliki orang jawa yakni Ngalah, Ngalih, dan Ngamuk. Namun kebanyakan orang jawa akan mengutamakan sikap ngalah.
Jokowi menjalankan sikap ngalah, sikap ini dipegangnya untuk mengindari konflik kepentingan. Ngalah bukan berarti kalah, tapi sebaliknya akan menyusun kekuatan. Ngalih karena sikap ngalah yang selama ini terapkan tak mampu meredahkan konflik. Maka ia mengunakan strategi ngalih. Sikap ini tidak berarti menghindar dari konflik tapi mengamati persoalaan dan mencarikan solusinya. 
Jika sikap ngalah, ngalih kurang dihargai, maka presiden harus mengunakan jurus yang ketiga yakni Ngamuk. Ngamuk dalam hal ini harus mengunakan akal sehat dan mempertimbangkan kepentingan rakyat. Meskipun sikap ini merupakan pilihan terakhir tapi harus dilakukan. Ngamuknya Jokowi akan menciptakan keharmonisan bermasyarakat, bernegara dan terhindar dari konflik laten.
Penulis adalah Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Dimuat Koran Jateng Pos, Selasa 17 Maret 2015



0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi