Oleh Fathurozi
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCkYOWA4SBLMqSpDsAPc-HgeDL18G-4VtqOgwnHSqsofLnQC-TCZNfXekCLc63jEdiw_BaS07vgP_Y8FKFAyFtySIpMF6TKXyWz4TfWkDcigsmbW87sUYqYyRq1cnxV9etz_swAI1Ne9Q/s1600/Jokowo.jpg)
Di perparah lagi dengan organisasi
masyarakat (Ormas) yang mendukung KPK dan ada pula yang memihak Polri. Saling
serang antara kedua kubu, menjadikan masyarakat anti pati pada penegak hukum. Kebingungan
ini, juga melanda presiden Jokowi yang diusung oleh koalisi Indonesia hebat
(KIH). KIH mendesak presiden untuk segera melantik Budi Gunawan tetapi akhirnya
tidak jadi dilantik menjadi Kapolri.
Ternyata kegalauan Jokowi semakin
menjadi ketika perseteruan kedua lembaga penegak hukum tak segera menemukan
titik temu. Terkesan Jokowi membiarkan konflik berlarut-larut, ia masih mempertimbangkan
kepentingan partai pengusung, karena tak segan-segan parpol mencabut dukungan
pada pemerintah.
Megawati Soekarnoputri dalam
pidato deklarasi koalisi PDIP, Partai Nasdem, dan PKB di Kantor DPP PDIP,
Lenteng Agung, Jakarta, 14 Mei 2014. Dia menyampaikan ”Saya pesan ke Pak
Jokowi, sampeyan tak jadikan capres, tapi jangan lupa ingat capres-nya saja,
Anda adalah petugas partai yang harus melaksanakan apa yang ditugaskan partai.”
Pesan Megawati mengisaratkan tiap
kebijakan yang akan dijalankan pemerintah harus berdasarkan keputusan KIH, tak
ayal Jokowi seakan-akan menjadi boneka parpol yang tak punya sikap. Padahal
sejatinya parpol hanyalah fasilitator yang menyediakan tenaga jasa, kemudian
diajukan pada rakyat dengan program yang mengiurkan. Rakyat berhak menolak
tawaran itu, jika tidak sesuai dengan kebutuhan. Rakyat ibarat sebuah
perusahaan yang setiap lima tahun membuka lowongan pekerjaan untuk spesifikasi
jabatan presiden.
Jika presiden dalam bekerja
memenuhi target, akan dipertahankan hingga kontraknya habis yakni lima tahun.
Sebaliknya jika dinilai kurang memuaskan akan diberhentikan di tengah jalan. Hal
ini yang harus menjadi pola pikir partai politik dalam pengusungan calon
presiden dan wakil presiden, jangan sampai calon yang diajukan hanya sekadar
penuhan hasrat elit partai.
Ngamuk
Kelihatannya kesabaran Jokowi
mencapai titik jenuh, Ia mengundang Prabowo Subianto ke Istana Kepresidenan
Bogor, Jawa Barat, Kamis (29/1). Pertemuan ini konon membahas kisruh kedua
lembaga penegak hukum. Setidaknya presiden ingin menunjukan penyelesain konflik
dengan mengadeng beberapa tokoh atau elemen masyarakat.
Jokowi yang merupakan orang Jawa
menerapkan karakteristik kejawaannya. Dalam buku “Babat Tanah Jawa” karya
Soecipto Abimayu (2013). Terdapat tiga “Nga”simbol filosofi yang dimiliki orang
jawa yakni Ngalah, Ngalih, dan Ngamuk. Namun kebanyakan orang jawa akan mengutamakan
sikap ngalah.
Jokowi menjalankan sikap ngalah,
sikap ini dipegangnya untuk mengindari konflik kepentingan. Ngalah bukan
berarti kalah, tapi sebaliknya akan menyusun kekuatan. Ngalih karena sikap
ngalah yang selama ini terapkan tak mampu meredahkan konflik. Maka ia
mengunakan strategi ngalih. Sikap ini tidak berarti menghindar dari konflik
tapi mengamati persoalaan dan mencarikan solusinya.
Jika sikap ngalah,
ngalih kurang dihargai, maka presiden harus mengunakan jurus yang ketiga yakni
Ngamuk. Ngamuk dalam hal ini harus mengunakan akal sehat dan mempertimbangkan
kepentingan rakyat. Meskipun sikap ini merupakan pilihan terakhir tapi harus
dilakukan. Ngamuknya Jokowi akan menciptakan keharmonisan bermasyarakat,
bernegara dan terhindar dari konflik laten.
Penulis adalah Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Dimuat Koran Jateng Pos, Selasa 17 Maret 2015
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !