Oleh Fathurozi
PECI identik dengan busana kaum laki-laki muslim yang dikenakan ketika salat dan kegiatan keagamaan. Dalam agama Islam, ada aturan jika orang sujud dahi dan tempat (sajadah) tak diperkenankan ada benda lain yang menghalangi.
Dari sini lah peci dipakai umat Islam. Namun orang lebih enjoy tak memakai peci. Terkadang masyarakat mengkontruk peci menjadi simbol keagamaan. Padahal peci bukan produk agama, melainkan hasil dari budaya. Seiring perkembangan zaman keberadaan peci mulai pudar, orang enggan mengenakan peci dalam beraktivitas. Sekitar 1970 hingga 1980-an, peci selalu dikenakan masyarakat dalam beraktivitas.
Di layar televisi dihiasi aktor film atau komedian yang menggunakan peci sebagai ciri khas. Seperti “Si Unyil”, Si Doel dalam Si Doel Anak Betawi, Kang Ibing yang mamakai peci terbalik dalam Si Kabayan. Dan film Mat Peci (1978),yang bercerita Mat peci salah satu penjahat berdarah dingin, keluar masuk penjara.
Namun peci tidak lantas berubah jahat Pada 2013, stasiun televisi swasta menghadirkan sinetron komedi Ji Ung Pendekar Cabe Rawit , diceritkan Ji Ung, bayi yang tak berdosa dibuang oleh ibu kandungnya di masjid, si bayi dibekali peci dan dibalik peci, tertulis nama al- Kautsar. Mungkin ibu kandungnya berharap kelak menjadi anak saleh.
Peci masuk di Indonesia dibawah pedagang Arab, namun ketika melihat Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur yang dibangun pada 1200 Masehi oleh raja Srengga dari Kediri, terdapat relief orang berpakaian dan berpeci, mirip orang Timur Tengah seperti Turki, Pakistan, Mesir. Hal ini menandakan peci kira-kira masuk ke Indonesia sejak kerajaan Kediri.
Jadi Identitas
Sementara itu, masyarakat Internasional lebih mengenal peci Soekarno. Karena setiap hadir di forum-forum internasional tak lupa mengenakan peci berwarna hitam. Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams (2011), peci sebagai simbol nasionalisme Indonesia. Ia mengombinasikan peci dengan jas dan dasi yang mewakili kebudayaan barat (Belanda).
Peci pertama kali dipakai oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Mungkin saja Soekarno meniru para pendahulunya. Bagi mereka peci sebagai simbol perjuangan melawan penjajah, setidaknya peci memberikan kekuatan dan menghilangkan rasa takut bagi pemakainya. Peci jadi identitas rakyat jelata yang telah melebur ke tubuh.
Tak ayal jika sekarang peci dijadikan alat oleh para politikus menjelang Pemilu dan Pilkada, mereka ramai-ramai memakainya. Jurus mengenakan peci dengan harapan memperoleh simpati rakyat. Peci jadi identitas rakyat jelata yang telah melebur ke tubuh. Tak ayal jika sekarang peci dijadikan alat oleh para politikus menjelang Pemilu dan Pilkada, mereka ramai-ramai memakainya.
Jurus mengenakan peci dengan harapan memperoleh simpati rakyat. Kini peci berubah sebagai topeng menutupi kejahatan pemakainya, tak ayal peci mulai tercemar. Semisal guru agama mencabuli muridnya dan ada juga ustadz masuk penjara gara-gara korupsi.
Peci sebagai alat mencari kekayaan bagi dirinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Penulis pernah melihat orang berpeci sambil menenteng kotak ada tulisan berbunyi pembangunan masjid di luar wilayah Semarang. Kebetulan penulis paham daerah tersebut, kemudian penulis bertanya pada teman yang tinggal di sekitar pembangunan masjid.
Apa benar ada pembangunan masjid di desa yang dimaksud? Ternyata, tida ada pembangunan masjid, kalau ada rehab masjid tak mungkin minta sumbangan hingga ke Semarang. Ironis peci dijadikan kedok mencari keuntungan pribadi, mungkin pekerjaan mereka seperti itu. Tak ayal orang mengenakan peci tak mesti orang baik.
Semisal banyak tersangka korupsi mengenakan peci. Cerita pendek (cerpen) berjudul “Peci di Kepala Pak De” Karya F Rahardi (2009), dalam (jejaring Sosial Facebook blog sastra F Rahardi), mengisahkan, Pak Demu tak mau pakai peci karena peci di kepala itu zamannya Bung Karno.
Bagi Pak Demu, peci digunakan mengarungi laut dan penampung uang sebelum dimasukan ke tas. Peci sebagai tempat kepasrahan atau penyesalan dosa. Peci bisa menenangkan hati yang sedang terlanda cobaan. Maka, tak aneh jika hari ini sebagian orang berkata peci hanya sekadar aksesori belaka tanpa memiliki arti. (81)
Penulis adalah staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !