Oleh Fathurozi
MASYARAKAT Tegal tak asing mendengar nama Mardiyah, nama ini sangat populer di kalangan masyarakat kere atau kurang mampu. Kata tersebut selalu terlontar dari mulut orang tua, ketika tidak bisa membelikan suatu benda yang harganya terlalu mahal, padahal si anak menginginkannya. Dengan nada membentak orang tua selalu mengucapkan “Duite Mardiyah.” Kata-kata itu didengung-dengungkan ke telinga anak-anak di wilayah ini.
Entah cerita rakyat atau hanya sekadar alibi semata, tuk menolak keinginan si anak, tak ayal kata ini terekam ke otak si anak. Si anak pun sering mencelotehkan kata itu ke teman sepermainannya. Kalimat Duite Madiyah seakan-akan jadi bogem mentah yang meredam keinginan si anak.
Suatu ketika penulis pulang kampung, melihat pemandangan yang sangat mengejutkan, ada seorang anak yang duduk dipangku sekolah dasar (SD), meminta pada ibunya untuk dibelikan tas baru. Namun sang Ibu tak mengindahkan permintaan si anak, malah ia (orang tua) berkata, "Duite Mardiyah", di tambah lagi kata, mana jaluk duit neng Mardiyah.
Bahkan Duite Mardiyah menjadi bahan candaan anak-anak muda di kota Jepangnya Indonesia, semisal, anak-anak muda sedang Moci (Teh yang di seduh dengan air panas), moci tok, ya ora enak, ayo patungan sewu-sewu ya ora apa-apa, olih-olih go tuku rokok, ada salah satu teman melontarkan mana jaluk neng Mardiyah, orang itu benar-benar lagi tidak punya uang karena belum bayaran.
Simbol Duite Mardiyah menjelma menjadi senjata yang ampuh, senjata itu digunakan ketika dirinya tak sanggup memenuhi permintaannya. Duite Mardiyah telah merasuk ke tubuh dan masyarakat tak bisa menghindar, bahkan kata-kata itu hingga sekarang masih di tanamkan ke anak-anak mereka.
Mardiyah
Mardiyah sesosok perempuan kaya raya yang hidup di daerah Tegal, kekayaannya terkenal hingga ke seluruh Jawa, ia juga salah satu pemilik hotel berbintang di daerah ini. Usaha home industrinya menguasai pasar-pasar di kota besar Indonesia, orang-orang menyebutnya perempuan super kaya. Tak heran jika ia hidup serba mewah. Dalam kehidupan sehari-hari ia mengenakan busana yang menyolok bila dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
Wanita bertubuh subur dan berkulit putih mirip bule, dimanapun ia beraktifitas baik pergi ke pasar atau hanya sekadar bersantai di rumah, selalu mengenakan pakaian sutra, berkalung emas, giwang dan ke dua tangannya dipenuhi gelang emas. Namun kekayaannya hanya dinikmatinya sendiri tanpa memperdulikan sesama atau tetangga, padahal era itu, masyarakat masih membutuhkan bantuannya.
Dia hidup di Era 70-an, masyarakat Tegal membaiat sebagai orang pelit dan bahil, jika membeli nasi bungkus, kertas, piting (alat pembungkus yang terbuat dari bambu atau lidi daun kelapa) dan palstiknya tidak di buang, tapi dikumpulkan, setelah tumpukan banyak, kemudian di tukar atau dibarter dengan nasi bungkus (ponggol).
Cerita yang beredar di masyarakat, Suatu malam rumah Mardiyah didatangi kawanan perampok, hartanya dikuras habis tanpa tersisa sedikit pun, kemudian ia di bunuh secara tidak manusiawi, tubuhnya di potong-potong menjadi beberapa bagian, bahasa gaulnya di mutilasi.
Sebaiknya kata-kata itu di hentikan karena akan mempengaruhi psikologi si anak dan Mardiyah bukan lah tokoh yang patut di contoh, melainkan orang yang tidak layak mendapatkan tempat di hati masyarakat.
jika kata-kata itu merupakan hasil budaya yang disepakati oleh masyarakat tegal, maka jangan dihapus. biarkan itu mengalir dan menjadi sejarah, bahwa ada seorang yang bernama mardiyah yang pernah hidup di Tegal. seharusnya orang tua juga menceritakan kepada anak tentang silsilah Mardiyah tersebut. dan dijadikan sebagai kisah agar si anak jangan seperti Mardiyah. sosok seperti Mardiyah dapat dijadikan pelajaran yang baik untuk menumbuhkan sikap saling berbagi kepada generasi penerus di Tegal. mungkin dengan sedikit bumbu, kisah merdiyah patut dijadikan salah satu bacaan wajib di mata pelajaran sejarah Tegal.
ReplyDeleteKesaksian di atas benar adanya.
ReplyDeleteKarena saya sendiri waktu kecil sering mendengar kata-kata tersebut dari ibu saya. Tidak hanya buat anaknya yang minta sesuatu kepada orang tuanya saja, tetapi buat orang-orang yang meminta sesuatu tetapi tidak bisa diberikan.