Oleh Fathurozi
Judul : Orang Jawa Jadi Teroris
Penulis : M Bambang Pranowo
Penerbit : Pustaka Alvabet dan LaKIP, Jakarta
Tahun : I, 2011
Tebal : 300 hlm
ISBN : 978-979-3064-94-9
Kekhasan etnis Jawa yang lemah-lembut ternyata menampakkan sebuah ironi tersendiri. Jawa yang selama ini dikenal dengan kepiawaian tatakrama belakangan ini justru melahirkan generasi yang berang dan menakutkan. Banyak (gerakan) teroris tumbuh dan berkembang di Jawa.
Abu Dujana, Abu Irsyad dan Amrozi merupakan sederetan nama populer dalam “bursa perburuan” teroris tanah air. Nama Abu Bakar Ba’asyir tergolong paling kerap diduga terlibat dalam berbagai aksi terorisme di Indonesia. Mereka semua orang Jawa, sekaligus prototipe generasi radikalis yang dibesarkan dalam persilangan tradisi Islam modern, dan Jawa sebagai ruang sosiokulturalnya.
Fakta itu menimbulkan pertanyaan: mengapa kebanyakan teroris di Indonesia orang Jawa? Pertanyaan itulah yang ditelusuri oleh M Bambang Pranowo melalui buku Orang Jawa Jadi Teroris. Watak garang yang menjadi karakteristik teroris dipetakan berdasarkan karakter orang Jawa. Pandawa Lima dijadikan rujukan dasar dalam mengidentifikasi watak masyarakat Jawa yang lembut, tetapi juga keras.
Pandawa adalah simbolisasi watak orang Jawa yang akomodatif dan mudah berkompromi. Akan tetapi, orang Jawa tidak mau diremehkan, apalagi dikecewakan. Putadewa, Nakula dan Sadewa merupakan tokoh lemah lembut dan cenderung mengalah. Arjuna pandai berdiplomasi, sementara Werkudara keras, pemberani dan tanpa kompromi pada prinsip-prinsip yang diyakininya.
Paling tidak karakter Pandawa merepresentasikan tiga watak orang Jawa: ngalah, ngalih dan ngamuk. Ngalah (mengalah) memiliki tujuan jangka panjang yang menguntungkan. Orang Jawa akan ngalih (menepi) atau meminggirkan diri dari lawan yang cenderung ngotot. Sikap kedua ini tidak berarti lari, tetapi mencari jalan dialog sambil menyusun strategi untuk mencapai kemenanganan. Pada puncaknya orang Jawa akan ngamuk (mengamuk) atau berperang jika didesak dan diinjak-injak secara terus-menerus.
Para teroris di Indonesia yang kebetulan orang Jawa merasa dirinya diinjak-injak oleh Amerika. Imam Samudera, dalam bukunya Aku Melawan Teroris, mendeklarasikan bahwa kelompoknya sebenarnya sedang berperang melawan teroris kakap Amerika. Negeri Paman Sam itu disebut teroris sebab sering “membajak” negara-negara orang muslim. Perlawanan terhadap teroris ala Imam Samudera itu secara simbolis dilakukan dengan aksi peledakan Hotel JW Mariott Jakarta dan Kuta Bali.
Namun, sisi watak orang Jawa yang keras tidak serta-merta menjadi embrio bagi kelahiran dan perkembangan para teroris di tanah air. Barangkali, justru para teroris yang lahir dan berkembang di Jawa tidaklah terdorong oleh tradisi dan nilai-nilai Jawa. Bahkan, mungkin pula mereka tidak menghayati nilai-nilai tepa slira yang diajarkan leluhur Jawa.
Tak bisa dipungkiri jika ideologi terorisme merupakan buntut dari jebakan fanatisme yang memutlakkan kebenaran tunggal agama. Gelombang terorisme menguat seiring penafsiran ayat-ayat tertentu yang menghalalkan penyerangan kepada kelompok agama lain yang tidak sepaham. Gerakan terorisme juga tampak memiliki pamrih politis untuk mendelegitimasi kekuasaan negara. Ada niat tersembunyi hendak mensubstitusi tata pemerintahan dengan ideologi-politik yang dipegangnya.
Meski buku ini tidak memberikan penjelasan tentang genealogi terorisme di Jawa, paling kurang telah memetakan watak orang Jawa dalam hubungannya dengan potensi gerakan terorisme. Di kalangan Islam tumbuh berbagai kelompok beserta ideologi yang berkembang secara komunal. Mulai kiri sampai kanan, mulai yang damai hingga yang keras, mulai yang pasif hingga revolusioner. Beragam ideologi yang berkembang subur di tubuh Islam dengan sendirinya menunjukkan keniscayaan Islam dalam mengelola pluralitasnya sendiri.
Indonesia maupun Timur Tengah menjadi kawasan yang dinamis bagi perkembangan politik-ideologi Islam. Sayangnya, tragedi pemboman WTC pada 11 September 2001 silam itu menjadi momentum bagi dunia (Barat) untuk secara sah menjustifikasi dan menuduh Islam sebagai teroris. Sejak itu pula, Barat menggambarkan wajah Islam yang seolah tunggal: agama kekerasan. Tak pelak Barat melancarkan kekerasan simbolik berupa politik stigmatisasi terhadap dunia Islam sebagai embrio terorisme dunia. Hari ini mata dunia masih diuji kejernihannya dalam memandang Islam dengan segala sisi lainnya yang tak tunggal.
(Dimuat Majalah Smart edisi Januari-Juni 2012
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !