Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning di Pondok Salaf

Friday 13 April 2012

Berbicara mengenai pesantren memang  memerlukan kecermatan tersendiri, karena dunia pesantren memang berbeda dengan dunia lainnya seperti sekolah misalnya.  Kiai dalam sebuah pesantren mempunyai otoritas yang sangat menentukan, termasuk bagaimana cara pembelajaran dan apa yang harus dipelajari.  System sorogan yang menjadi ciri khas pembelajaran di pesantren, meskipun saat ini  sudah dianggap tidak relevan di dunia pendidikan pada umumnya, namun  hal tersebut masih menjadi tradisi yang terus dipelihara.
Demikian juga dengan buku atau kitab yang diajarkan kepada para santri, juga sangat tergantung kepada kiai atau pengasuhnya, sehingga  tidak ada keseragaman dan atau standarisasi  kitab yang dipergunakan.  Meskipun demikian secara  yakin kita dapat mengatakan bahwa kitab kitab yang diajarkan di pesantren tersebut lebih banyak kepada fiqh yang ditulis berdasarkan madzhab Syafi’i, kemudian ditambah lagi dengan sedikit tentang kitab akidah, tafsir, tasawuf, dan sejarah Islam.  Kitab kitab tersebut belakangan dikenal dengan kitab kuning.

Istilah kitab kuning memang akrab dengan dunia pesantren, terutama pesatren yang  salaf, karena memang di sana dibahas dan dikaji kitab kuning.  Meskipun definisi tentang kitab kuning itu sendiri belum baku, dan umumnya  dikonotasikan dengan kitab-kitab klasik yang disusun oleh para ulama Timur tengah pada abad pertengahan,  Namun demikian secara umum kitab kuning itu sendiri merupakan kitab kitab yang ditulis sebelum abad ke tujuh belas dan ditulis dengan gaya tertentu.  Sedangkan kenapa dikatakan sebagai kitab kuning itu lebih disebabkan oleh kondisi riil kitab-kitab tersebut yang untuk pertamakalinya dicetak secara sederhana dan dengan memakai kertas yang berwarna kuning.

Kondisi tersebutlah yang menjadi salah satu pertimbangan kenapa kitab-kitab klasik tersebut disebut dengan kitab kuning.  Namun demikian tidak kemudian menjadi serta merta akan mengubah istilah kitab kuning, setelah kitab-kitab tersebut dicetak dengan menggunakan kertas berwarna putih.  Karena kitab kuning itu  sebuah istilah, maka pengertian yang lain dan berbeda dengan pengertian tersebut juga harus diapresiasi dan tidak secara mutlak ditolak begitu saja.  Pada prinsipnya siapapun berhak untuk memberikan makna kitab kuning tersebut asalkan didasarkan kepada argumentasi yang rasional dan dapat dipertanggung jawabkan.  
Istilah memang merupakan suatu kesepakatan mayoritas orang dalam bidang tertentu yang terkadang sangat berbeda dengan makna aslinya.  Cukup banyak istilah istilah yang berkembang di masyarakat kita yang masing-masing berbeda.  Kita mengenal beberapa istilah yang berbeda untuk sebuah kata yang sama.  Sebagai contoh ketika para ulama hadis mendifinisikan kata sunnah maka mereka akan memberikan makna  dalam istilah mereka, yakni segala sesuatu, baik perkataan, perbuatan, atau lainnya yang semuanya itu dinisbatkan atau dihubungkan dengan diri Nabi Muhammad SAW.  Tetapi ketika menengok kata sunnah tersebut dalam pengertian para ulama ahli fiqh, maka kita akan menemukan pemaknaan yang sangat berbeda, yakni mereka akan memberikan makna dengan istilah mereka sendiri, yaitu segala hal yang apabila dilaksanakan, akan mendapatkan pahala,  tetapi kalau ditinggalkan tidak akan mendapatkan dosa.

Demikian juga beberapa istilah tersebut juga dapat kita saksikan di masyarakat kita, semisal kata kursi  dalam istilah masyarakat umum, akan dimaknai dengan sesuatu yang khas dan dikenal serta dijadikan tempat duduk, atau tempat yang diperuntukkan untuk duduk. Namun ketika kita lihat para politisi memberikan makna kursi tentu akan berbeda maksudnya, yakni sebuah kedudukan yang terkadang direbutkan.  Apalagi ketika kata tersebut ditambah kata basah di belakangnya, maka bukan lagi bermakna tempat duduk yang terkena air, melainkan suatu kedudukan yang enak dan memberikan banyak fasilitas.  Dan begitulah kata istilah tersebut sedemikian rupa berkembang sesuai dengan pemaknaan mayoritas orang dalam suatu bidang tertentu, apapun bidangnya.
Nah, kalau kita berbicara  tentang kitab kuning tersebut tentunya ya harus mengacu pada  pengertian yang digunakan oleh kalangan pesantren, meskipun terkadang tampak tidak konsisten menurut penilaian orang luar.  Dengan begitu peristilahan yang kemudian muncul ke permukaan yang saling berbeda dalam memberikan batasan tersebut, hanya sebagai tambahan yang boleh jadi tidak sama dengan yang biasa  digunakan oleh kalangan pesantren, khususnya pesantren salaf.

Ada kemungkinan bahwa istilah kitab kuning tersebut memang dikhususkan bagi kitab-kitab klasik atau kitab yang beraliran klasik, meskipun ditulis belakangan dan mengikuti madzhab Syafii,  sehingga kalau ini yang mejadi pengertiannya, beberapa kitab kuno yang mengikuti madzhab  Hanafi misalnya, tentu tidak akan dianggap sebagai kitab kuning.  Dan begitu juga sebaliknya meskipun sebuah kitab itu ditulis  belakangan, namun beraliran klasik dan menganut madzhab Syafii, maka dapat digolongkan ke dalam kitab kuning.
Kata-kata klasik itu sendiri juga perlu dijelaskan,  sebab masing-masing orang juga sangat mungkin mempunyai pengertian yang berbeda.  Secara umum klasik tersebut dimaksudkan sebagai pikiran kuno yang belum tersentuh oleh analisis yang didasarkan kepada sikap rasional dan mempertimbangkan aspek-aspek, kesetaraan gender, keadilan, dan toleransi, serta lainnya yang saat ini justru menjadi pertimbangan utama.  Pengertian ini mungkin juga tidak dapat mewakili sebagian kepentingan yang berkaitan dengan keklasikan tersebut, namun kalau pengertian ini diikuti setidaknya akan ada gambaran bahwa justru yang  dianggap klasik itu ternyata pemikiran yang datar, tidak banyak kritik, tetapi malahan mengundang banyak kritik.

Beberapa kitab klasik yang masuk dalam pengertian kitab kuning memang mendapatkan banyak kritik karena di dalamnya ada beberapa kesimpulan yang tidak sesuai dengan pemikiran  yang didasarkan kepada keadilan, kesetaraan gender, toleransi dan lainnya.  Beberapa kitab tafsir juga memuat penafsiran dari Israiliyat yang sangat tidak rasional dan bahkan terkesan dongeng yang fiktif dan “menyesatkan”.  Demikian beberapa kitab fiqh masih mengandung bentuk hukuman yang sangat terasa  tidak adil dan tidak toleran terhadap umat lain.  Dan yang  sangat terasa ialah adanya kitab kuning yang menjelaskan tentang hubunan antara pria wanita yang sedemikian  cenderung paternalistik dan sangat bias gender yang hanya akan merugikan kaum perempuan.

Kita juga melihat ada kitab kitab yang sampai saat ini masih dipelajari di pesantren yang ternyata didasarkan  kepada cerita-cerita israiliyat dan dongeng-dongeng yang  tidak mendidik.  Bahkan kitab yang bertemakan tentang akidahpun banyak yang tidak didasarkan kepada riwayat yang meyakinkan, meskipun  sudah ada yang kemudian tidak mengajarkannya lagi di pesantren.  Demikian juga dalam hal yang berkaitan dengan motivasi kepada umat untuk bersemangat dalam melakukan ibadah dan beramal shalih, yang  terkadang sangat tidak rasional.  Memang dalam masalah yang terakhir ini, yakni memotivasi umat untuk berbuat baik, ada ulama yang memperbolehkan berdasar kepada riwayat lemah,  namun sekali lagi seharusnya juga tetap harus selektif dalam memilih riwayat sehingga tidak akan merugikan umat secara umum.

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi