Secara konseptual kekerasan dalam berbagai bentuknya merupakan indikasi adanya penyalahgunaan kekuasaan, perlakuan tidak adil, tidak setara, sewenang-wenang dan dominasi. Dengan demikian kekerasan adalah penyalahgunaan kekuasaan ketika kekuasaan yang dimiliki seseorang dipakai untuk memaksa, mendominasi, membohongi orang lain dan berdampak buruk, merugikan, bahkan menimbulkan penderitaan baik fisik maupun phsyikis bagi orang yang menjadi korban. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut dimungkinkan oleh adanya ketidaksetaraan status antar individu, gender, kelompok, antar agama dan antar Negara (2001:56).
Ada berbagai persepsi tentang kekerasan yakni yang berkisar dari pelecehan verbal, kekerasan fisik sampai dengan mengingkari hak asasi orang lain. Kekerasan dalam bentuk verbak dapat dilakukan melalui kata-kata kasar, menyakitkan, memojokkan, penghinaan yang dapat mengakibatkan rasa takut, tertekan yang mengakibatkan orang lain kehilangan kepercayaan diri untuk mengembangkan kehidupannya secara wajar.
Perempuan sebagai korban kekerasan tidak pernah jauh dari lingkungan kita, mereka adalah tetangga, rekan kerja, saudara ataupun orang-orang terdekat kita. Namun hal tersebut kurang mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perempuan korban berbagai bentuk kekerasan dalam relasi kerja sering kita temukan pada para pekerja sector informal, buruh migran,pekerja rumah tangga, pekerja seks, pekerja anak, calaon pekerja yang ditempatkan di penampungan-penampungan, serta para aktivis buruh yang dianggap sebagai ancaman. Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat dan kultur bahkan Negara. Dalam keluarga marginalisasi perempuan terjadi dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan (2005:78).
Dalam berbagai ranah kehidupan sadar atau tidak telah terjadi kekerasan fisik, emosional, psikologi, entah secara domestik (dalam rumah) maupun publik (dilakukan oleh masyarakat, agama, media massa, kekuatan ekonomi, politik, dan negara) menimpa kehidupan orang lain, khususnya perempuan. Namun sejauh ini perhatian dan tindakan tegas untuk mengatasi serta pencegahan terhadap berbagai bentuk tindak kekerasan ini tidak pernah dilakukan. Alasannya sederhana, relasi atau hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang timpang ini pada umumnya diterima oleh masyarakat bahkan oleh perempuan sendiri sebagai hal yang biasa. Bagi kebanyakan orang hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar, bukan sebagai suatu wujud diskriminasi atau salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian perlu kiranya disadari bahwa konsekwensi dari diskriminasi tersebut adalah merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan. Pandangan seperti ini disebabkan karena telah terbangun sebuah keyakinan dalam masyarakat bahwa, laki-laki mempunyai kedududukan yang lebih tinggi daripada perempuan dan karenanya laki-laki mempunyai kekuasaan terhadap perempuan.
Masalahnya adalah, ketika pandangan yang demikian ini telah menjadi konstruksi sosial, sehingga ketika dalam hubungan relasi perempuan dan laki-laki ada tindakan dominasi laki-laki terhadap perempuan yang berdampak buruk, merugikan, bahkan menimbulkan penderitaan bagi perempuan. Akibatnya tindakan kekerasan semakin hari semakin berkembang dan semakin banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan ini. Konstruksi masyarakat yang mengacu pada budaya patriakhal telah menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai dua manusia yang berbeda secara peran dan kedududukan. Pemahaman masyarakat tentang kodrat perempuan sering salah kaparah. Kodrat perempuan dikaitkan dengan urusan pekerjaan rumah tangga yang menjadi tugas perempuan seperti, mengurus rumah dan anak secara penuh. Padahal tugas tersebut tidak ada hubungannya dengan kodrat perempuan. Dalam situasi ini, masyarakat semakin ketat mengatur penampilan dan prilaku perempuan, dan jika tidak ditaati perempuan dituduh menghianati komunitasnya, agamanya, budayanya, adatnya sendiri.
Mengapa institusi agama dianggap punya peran penting dalam menyikapi masalah kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam rumah tangga. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa agama apapun tidak pernah menyetujui dan menerima berbagai bentuk tindakan kekerasan. Agama memiliki kebenaran dan kesucian, agama juga sangat menghormati dan menghargai keadilan, karena agama pada dasarnya mengajarkan penghargaan martabat manusia dan perlindungan terhadap seluruh ciptaan, menghapus diskriminasi, ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia dan pemasungan kebebasan anugerah Tuhan yang akan mengakibatkan kerusakan, kehancuran dan eksplotasi terhadap ciptaan Tuhan utamanya manusia. Pertanyaan adalah, apakah institusi agama benar telah melakukan tindakan yang mencegah dan menghapus tindakan kekerasan. Mungkin ada beberapa institusi agama yang cukup perduli dengan masalah ini, namun masih terbatas pada tataran normative. Sejauh ini yang dilakukan oleh pimpinan agama hanya sebatas menghimbau, menyerukan melalui khotbah-khotbah atau mengajak umat untuk tidak melakukan tindakan ini, dan belum sampai pada tataran praksis. Bahkan tidak jarang agama juga turut melakukan dan melanggengkan kekerasan itu sendiri yang didasari oleh ajaran atau doktrin agama sering ditafsirkan secara keliru. Melakukan tafsir terhadap teks agama secara tekstual dan tidak utuh menjadikan makna teks agama yang sesungguhnya menjadi hilang, dan yang memprihatinkan tafsiram tersebut telah terlanjur menjadi acuan bagi kehidupan umat, sehingga legitmasi terhadap kekerasan berlaku atasnya.
Alasan utama penelitian ini dilakukan adalah, untuk menjelaskan fenomena kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat, dan bagaimana peran institusi agama dalam menanggulangi masalah ini. Alasan ini didasari bahwa issue kekerasan terhadap perempuan semakin marak di tengah masyarakat dan mendesak untuk mendapat perhatian secara penuh oleh berbagai pihak, khususnya institusi agama. Pada umumnya institusi Agama belum melakukan dan mengatasi secara langsung kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan seperti misalnya, melakukan pendampingan, pastoral konseling dan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan, seperti yang dilakukan oleh LSM perempuan. Pada saat ini cukup banyak LSM yang melakukan berbagai kegiatan untuk penanggulangan kekerasan terhadap perempuan melalui pembinaan, penyadaran, perlindungan dan bantuan hukum tanpa ada kerjasama dan atau jejaring dengan institusi agama.
Silakan Download E-Book
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !