Kajian Karya Keagamaan Ulama Jateng, Jatim dan DIY (Studi Pemikiran K.H. Zaenal Abidin Moenauwir tentang Puasa dalam Kitabussiam

Friday 13 April 2012

Dalam pepatah Jawa, ulama (kyai) adalah songgo buwono, penyangga bumi. Songgo buwono  menunjukkan bahwa posisi ulama adalah penjaga alam semesta sebagaimana halnya kholifah fil ardl.   Sebagai kholifah fil ardl, ulama menempati posisi penting dalam kultur masyarakat. Ulama tidak ubahnya sebagai sebagai pewaris atau penerus para nabi. Oleh karena itu  di tangan para ulama, perubahan kehidupan kearah yang baik dari peradaban manusia menjadi tanggungJawab ulama. Dengan harapan ditangan para ulama perubahan yang terjadi itu sesuai dengan tuntunan ajaran Tuhan.

Peran penting ulama dalam kemajuan peradaban manusia, saat ini menunjukkan pergeseran dari peran-peran idela yang sebelumnya diharapkan oleh masyarakat. Desakan kemajuan dari peradaban modern dengan teknologi informasi dan komunikasi, menggeser peran ulama tidak hanya pada ranah sosial tetapi juga para ranah pemikiran intelektual dan keagamaan. Ulama tidak lagi menjadi satu-satunya sumber panutan moral, fatwa kebaikan, sumber rujukan informasi untuk mengatasi masalah-masalah sosial di masyarakat.
Perubahan peradaban yang dinialai semakin maju, modern, dan sekaligus sekuler memunculkan berbagai dampak yang tiada disangka-sangka. Salah satu yang paling esensial adalah penjungkirbalikan tata nilai di masyakat. Nilai holistik kemanusiaan yang bersumber dari nilai-nilai ke-Tuhan-an yang sebelumnya ditanamkan tokoh-tokoh agama menjadi tercerai-berai tidak lagi dipakai dalam masyarakat. Sehingga dengan mudah masyarakat memisahkan kepentingan dalam urusan dunia dengan dan urusan akhirat. Akibatnya, pandangan terhadap ulama sebagai songgo buono yang bisa menjaga dua dimensi kehidupan yaitu material dan spiritual, kini seolah-olah keberadaan ulama hanya mengurusi permasalahan akhirat semata.

Desakan kuat arus modernisasi yang mengedepankan hedonisme dan sekuralisme semata, cenderung menjadikan umat/masyarakat melupakan tuntutan luhur ulama yang tertuang dalam kata-kata atau karya-karyanya yang kaya akan kebijaksan- an dalam mensikapi kehidupan. Pergeseran fungsi-fungsi sosial pada arus modernitas ini tentu perlu adanya upaya untuk mendudukan ulama kembali bisa menjadi suri tauladan yang bisa menjadi contoh bagi kehidupan umat menuju kehidupan yang seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat.
Sepanjang abad ke-17 hingga ke-20, masyarakat Indonesia memiliki ulama-ulama besar yang berkiprah di kancah internasional. Beberapa di antara mereka ada yang pernah didaulat menjadi mufti Madzhab Syafi'i di Masjidil Haram, Makkah, seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi. Ada juga yang menjadi guru besar yang berposisi sebagai dewan fatwa di Al-Azhar Mesir, seperti Syeikh Muhammad Nawawi ibn Umar al-Bantani. Di antara mereka juga ada yang menjadi mata rantai sanad hadits pada zamannya (musnid al-'ashr), seperti Syeikh Muhammad Mahfuzh at-Termasi dan Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadangi. Dan bahkan ada juga yang menjadi penyebar awal Islam di Afrika Selatan, seperti Syeikh Yusuf al-Makassari.

Keradaan para ulama itu tidak hanya besar dalam kultur budaya tetapi juga dalam hal pemikiran intelektual seperti yang pernah diungkap oleh Martin van Bruinessen. Martin van Bruinessen selama tinggal di Indonesia telah banyak melakukan kajian terhadap hasil karya ulama yang berserakan di banyak pesantren-pesantren. Kecermerlangan dan keanekaragaman hasil pemikiran ulama itu mendorong Martin mengumpulkan karya ulama hampir diseluruh provinsi di Indonesia lebih dari 1000 kitab.
Dari kitab-Kitab Kuning yang ditemukan oleh Martin, dia menemukan beberapa hipotesa yang memicu tumbuhnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang penelitian sosial keagamaan lanjutan. Dari kitab-kitab yang dikumpulkan oleh Martin ditemukan banyak sekali nilai pemikiriran dari kajian teks berupa sejarah, fiqh, tasawuf, dan sastra budaya. Sebuah temuan menarik dari pengembaran pemikiran Martin yang dipicu oleh kecintaan pada kitab karya ulama.

Dalam salah satu hasil kajiannya ia menyusun sebuah sintesa bahwa dengan melihat karya ulama yang ditemukan di banyak pesantren-pesantren dapat ditemukan adanya sebuah kebudayaan tersendiri dikalangan pesantren yang dapat membedakan antara pesantren satu dengan pesantren lainnya. Perbedaan-perbedaan itu ibarat sebuah kerajaan-kerajaan kecil yang memiliki aturan, adat, dan tradisi yang berbeda-beda. Sehingga dengan kitab-kitab yang dikaji oleh ulama dapat dilihat adanya perbedaan kulture pesantren antara daerah satu daerah dengan daerah lain atau antara pesantren yang eksklusif dengan pesantren yang inklusif.
Melalui karya ulama dalam kitab-kitab pesantren, juga dapat di telusuri hubungan ulama dengan proses terjadinya  Islamisasi Nusantara yang berbeda-beda jalur dan tokoh-tokoh pembawa. Sebab terkadang Islam datang dari negara lain atau dari arah lain dan ada beberapa tokoh yang mempunyai pengaruh sangat besar di daerahnya masing-masing; di daerah-daerah itu kadang-kadang ditemukan kitab yang ditulis oleh tokoh lokal, seperti Nafis al-Banjari atau Muhammad Arsyad al-Banjari di Banjarmasin, atau beberapa kyai di Betawi yang sangat terkenal, seperti Kyai Masri Betawi.

Dari 1000 Kitab Kuning yang dikoleksinya, Martin juga membuat klasifikasi. Dan dari klasifikasi ini kesimpulan yang dia dapatkan adalah, bahwa kitab fikih masih mendominasi di pesantren. Tetapi kitab kumpulan hadits dan kitab tafsirnya justru mulai banyak dipelajari di pesantren dibandingkan 100 tahun sebelumnya. Sebagai salah satu kesimpulan sementara, ia berpendapat bahwa gerakan reformis yang menekankan “kembali ke al-Qur`an dan hadits” juga mempunyai dampak di pesantren. Tidak mengherankan jika di pesantren mulai banyak menekankan studi hadits dan studi tafsir.

Dari beberapa analisa yang dikemukakan oleh Martin tersebut, maka perkembangan pemikiran ulama di pesantren, khusunya di Jawa juga dimungkinkan ada hubungan pemikiran dalam bentuk pola-pola yang terkait dengan para pemikir sebelumnya. Seperti dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Litbang Agama Semarang. Dalam kegiatan inventarisasi karya ulama ditemukan banyak sekali kitab-kitab yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa dan aksara Jawa. Sehingga di daerah Jawa, dari hasil temuan  yang sangat menonjol adalah bahwa ternyata banyak sekali kitab fikih dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi