Pusaran Problem Pendidikan Islam

Wednesday 11 April 2012


Oleh Fathurozi

PENDIDIKAN Islam di Indoensia, bila boleh saya katakan, adalah unik dan ironis. Bagaimana tidak, dari satu lembaga dengan basis normatif yang sama (Islam), orang bisa menjadi teroris atau bisa pula jadi kafir. Dua nilai yang berseberangan, antara yang radikal dan yang liberal terdapat dalam lembaga pendidikan yang sama, khususnya perguruan tinggi. Apakah ini penanda bahwa orientasi pendidikan di lembaga ke-Islam-an Nusantara tak punya orientasi jelas? Ironis bila dikatakan iya.

Bebebrapa waktu lalu ada lulusan perguruan tinggi Islam yang disangka sebagai otak tindakan teror di Masjid Mapolres Cirebon. Namun, beberapa tahun sebelumnya, ada lulusan dari perguruan tinggi yang sama, disebut sebagai pembawa pembaharuan pemahaman Islam yang salah jalan, alias sesat. Untuk merespon itu, Hartono Ahmad Jaiz malah secara genit menerbitkan buku “Ada Pemurtadan di IAIN” (2005). Dua hal yang berseberangan (radikal vs liberal), berasal dari atap yang sama: perguruan tinggi Islam. Mengapa?

Sejak awal lembaga pendidikan Islam di Indonesia memisahkan secara kategoris antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, antara yang Islami-ukhrawi dan yang sekuler-modern. Ilmu seperti fiqih, tauhid, akhlaq, tafsir, hadits, dan macam jenis pengetahuan yang mendukung peserta didik memahami kitab suci Al-Qur’an dan Sabda Nabi, yang semuanya berbahasa Arab klasik, disebut ilmu syariat sebab berkaitan banyak dengan Islam dan dunia setelah mati yang harus dipersiapkan sejak di ladang amal dunia ini.

Sementara ilmu yang tidak dijelaskan keterangannya secara langsung oleh  Al-Qur’an dan ataupun Hadits, disebutlah sebagai ilmu dunia. Disiplin ilmu pasti semisal matematika, bahasa selain Arab, kimia, biologi, astronomi, geografi, sosiologi dan sebagainya, dikatakan ilmu dunia karena hanya mengatur tata hidup di dunia saja. Apalagi ilmu yang di dalamnya menihilkan norma ajaran Islam, semakinlah disebut ilmu tidak bermanfaat bahkan dinyatakan haram dipelajari bila digunakan untuk merugikan orang lain, seperti ilmu astronomi (perbintangan/nujum) yang diterapkan untuk teluh dan lainnya.

Kategorisasi ilmu pengetahuan tersebut, dalam pengamatan banyak peneliti, mengekor pada gagasan Abu Hamid al-Ghazali dalam buku monumentalnya Ihya’ Ulumuddin. Dalam bab Ilmu Pengetahuan, al-Ghazali bukan saja memberikan kategori ilmu sehingga nampak punya wilayah masing-masing dan terkesan dikotomis, atomistik dan otonomik, namun dia juga berani mengkritik, bahwa kadangkala, ilmu yang nampak seperti ukhrawi, sebetulnya adalah yang menipu diri. Al-Ghazali memberikan contoh penerapan hukum fiqih, yang syar’i itu, untuk keuntungan pribadi dan manipulasi.

Abu Yusuf, murid Imam Malik dijadikan tamsil. Ulama yang terkenal pada masanya itu dikritik al-Ghazali karena telah menyalahgunkan ilmu syar’iat untuk kepentingan dunia. Ceritanya dalam soal hukum kewajiban zakat. Karena Abu Yusuf mengetahui  bahwa syarat wajib zakat adalah mencapai nisab (standar minimal atas kepemilikan harta) dan haul (satu tahun), maka, sebelum dua syarat itu terpenuhi, harta kekayaan yang dimilikinya, yang wajib dizakati, dihadiahkan kepada istrinya sebulan sebelum batas haul datang. Dengan demikian, secara fiqhiyyah, dia tidak berkewajiban mengeluarkan zakat karena secara kepemilikan, harta yang wajib dizakati itu sudah pindah tangan.

Positivisme hukum syariat tanpa perimbangan etika dan kesadaran moral itulah yang dikritik al-Ghazali. Lahirlah gagasan al-Ghazali untuk mensinergikan antara fiqih dan akhlaq (tasawuf). Sayangnya, dalam proyek besarnya tersebut, dia masih “terjebak” dalam pemisahan secara kategoris (bukan ontologis) antara yang dianggap duniawi dan ukhrawi, khususnya ihwal ilmu pengetahuan.

Problem Kronis
Lembaga pendidikan Islam, sebagaimana pendiriannya digagas oleh KH Wahid Hasyim, menteri agama pertama RI, adalah untuk menumbuhkuatkan karakter keilmuan umat Islam yang kalah total dengan perkembangan peradaban Barat. Dalam lembaga perguruan tinggi Islam itu (sekarang STAIN, IAIN, dan UIN), mahasiswa selain diajarkan ilmu agama (ukhrawi), mereka juga dimatangkan dengan ilmu sekuler (duniawi).
     
Mereka yang silau modernisme Barat, akan mengikuti karakter modernis dan bahkan liberal. Adapun mereka yang silau nostalgia kemajuan peradaban Islam skolastik tentulah akan bersikap puritan dan radikal. Semuanya ada di perguruan tinggi Islam. Pemahaman radikal terlalu mengharap kejayaan masa lalu ada di masa depan, sementara yang liberal terlalu berhasrat mewujudkan kejayaan masa depan tanpa berpijak secara etis dengan kekinian, baik keyakinan masyarakat luas, kultur, tradisi ataupun imajinasi sosial yang ada. Dua kutub yang paradoks tersebut sama-sama berbenturan dengan massa luas, hal yang tak diinginkan oleh Wahid Hasyim dulunya.

Pusaran prolem lembaga pendidikan Islam menurut saya karena terbelahnya orientasi pendidikan Islam, tidak jelas. Akibatnya ya itu, ada lulusannya ada yang jadi liberal, ada pula yang radikal. Institusi pendidikan Islam kebanyakan hanya bekerja untuk kelangsungan proyek tanpa diimbangi secara matang bagaimana cara mengembangkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan yang sama. Akhirnya, dunia pendidikan Islam kita berputar-putar pada soal klasik: menumpuk benda-benda infrastruktur lembaga, lalu kerdil kekuatan suprastruktur sumber dayanya.

Mereka yang mempelajari agama ada yang semakin skeptis. Mereka yang mempelajari ilmu eksakta, kian bimbang oleh mekanisme positivisme logika pengetahuan. Karena itulah, walau banyak kalangan menyebut al-Ghazali sebagai Hujjatul Islam (juru bicara Islam) yang mensinergikan antara hukum dan etika, antara ilmu dunia dan ilmu akhirat, namun Prof. Dr. Kautsar Azhar Noor menyatakan al-Ghazali tertelungkup gagasannya dalam kegagalan. Oleh karena tantangan modernitas, yang dalam masanya hidup, tak terlalu rumit seperti sekarang.

Lembaga pendidikan Islam harus melakukan reorientasi visi misi pendidikan sebagaimana lembaga pendidikan perguruan tinggi tanpa atribut Islam. Harapannya, ia akan menjadi medium transformasi sosial yang ditunggu kontribusinya dalam peradaban. Mendiang Nurkhalis Madjid menyatakan, jika pendidikan Islam di Indonesia, terutama pesantren, mau membuka diri tanpa kehilangan kesejarahannya, bukan tidak mungkin akan menjelma sebagai pusat pendidikan besar dunia seperti Oxford University, yang dulu embrionya hanyalah sekolah teologi seminary Kristen. Namun, semuanya itu utopisme belaka kalau konflik dingin berbasis ideologi komunal masih jadi pusaran problem internal lembaga pendidikan Islam Indonesia.

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi