Seperti kado granat yang meledakkan bangunan rumah
yang baru saja direnovasi, rekening bermasalah milik beberapa anggota perwira
kepolisian akhir-akhir ini menjadikan institusi penegak keamanan masyarakat tersebut
tercoreng untuk kesekian kalinya, setelah dipuja-puji berhasil menumpas
terorisme di Aceh beberapa waktu silam.
Disebut kado karena semarak isu itu hampir
berbarengan dengan pergantian jabatan Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan ulang
tahun Polri. Di tengah jerih payah Polri membangun pencitraan positif kepada
masyarakat, pasca sengkeka cicak-buaya dan kriminalisasi KPK, rekening tidak
wajar tersebut meluluhkan semuanya. Ketidakpercayaan muncul dari publik akibat
pemberitaan miring rekening “gemuk” alias tidak wajar.
Diborong oleh seorang laki-laki berjas, bergaya
parlente, Majalah Tempo yang mengangkat tema “Rekening Gendut Perwira Polisi”, hilang
dari peredaran. Di saat yang sama, Tempo dilaporkan ke pengadilan oleh seorang
oknum Polri dengan dakwaan telah menghina institusi kepolisian atas sampul
terbitannya yang bak menyamakan Polri dengan binatang babi. Gambar itu
dijadikan dalih mempraperadilkan Tempo.
Seperti adegan yang tidak nyambung. Yang
diberitakan isu rekening, tapi yang jadi fokus “ribut-ribut” justru gambar
sampul depannya. Tidak ada gugatan tentang isi dari Polri. Ini menunjukkan
bahwa memang ada masalah dalam rekening itu. Jika Polri komitmen terhadap reformasi
di kalangan internalnya, harusnya dia menerima berita kritis itu, dan Kapolri
menginstruksikan kepada jajarannya untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Mungkin karena banyak masalah dalam tubuh
internalnya, setiap kali ada kritik ke Polri, tanggapannya selalu reaktif dan
emosional. Kita masih ingat betapa gugupnya anggota polisi RI yang namanya
diteriakkan lantang oleh Susno Duadji karena dianggap sebagai makelar kasus. Bukan
memperkarakan teriakannya, justru mencari kejelakan Susno di masa lalu, seperti
kasus korupsi bisnis Arwana yang cukup menyita publik beberapa waktu silam.
Teror Kekerasan
Dalam sistem kebebasan pers, menyajikan berita heboh
adalah lumrah. Karena memang menarik minat baca publik. Apalagi menyajikan
berita praktik penguasa yang dianggap merugikan kehidupan masyarakat. Tempo
memanfaatkan demokratisasi informasi untuk menyampaikan berita yang seharusnya
mendapatkan perhatian publik. Pers hanya menyajikan dengan tanggungjawab penuh.
Jadi, kalau oknum Polri mempermasalahkan laporan rekening gendut itu, adalah
hal sia-sia belaka. Tidak ada gunanya. Justru tindakan itu membuat rasa curiga
masyarakat mengental.
Sekitar 20 rekening yang dalam laporan Tempo dicurigai bermasalah,
termasuk rekening Kapolwiltabes Semarang, Kombes Edward Syah Pernong dan Susno
Duadji (Wawasan, 29/06/10). Bila diakumulasi, jumlah rekening itu
mencapai 95 milyar. Atas berita itu, Indonesia Corruption Watch (ICW)
telah melaporkan kepada pihak pengadilan. Namun, bukan sambutan positif yang
terjadi. Pihak-pihak yang dianggap terlibat dalam publikasi dan investigasi
awal, justru diancam kekerasan fisik.
Kantor redaksi Tempo beberapa waktu lalu dilempari
bom molotof oleh orang tak bertangungjawab. Begitu juga ICW, salah satu
aktivisnya, Tama Satrya Langkun, pada 8 Juli 2010 lalu dianiaya oleh orang tak
dikenal. Kejadian itu sempat membuat gerah komisi III DPR RI dengan “menuduh”
ada keterlibatan anggota polisi dalam aksi ancaman dan kekerasan itu.
Kalau memang benar bahwa tindakan menteror itu
bersumber dari oknum polisi, betapa naifnya penegak hukum kita. Citra polisi
sebagai pengayom masyarakat justru faktanya jadi sebagai peneror publik, pers
dan aktivis. Bagaimana rakyat tidak curiga bila tindakannya reaktif dan
menyerupai perilaku preman seperti itu.
Investigasi
Kasus rekening tidak wajar itu harus dituntaskan
dengan mekanisme yang berlaku. Jangan sampai berlarut-larut karena akan
mereduksi fakta dan opini. Menangani kasus video Ariel saja Polri begitu sigap,
tapi menerima kritik kerikil (kecil) dari media, seperti tutup muka.
Pernyataan Komjen Ito Sumardi, Ketua Tim
Klarifikasi Rekening Perwira Polri, yang menegaskan secara langsung tiadanya
sangkut-paut isi rekening pribadi perwira tersebut dengan kedinasan, adalah
bentuk dari upaya mereduksi opini publik.
Supaya masyarakat percaya, Polri baiknya menyusun
tim investigasi, bukan tim klarifikasi semata. Rekening “gendut” tersebut tidak perlu diklarifikasi, karena
nomor dan pemiliknya tidak ada yang fiktif. Polri sendiri nyatanya juga telah
mendapatkan otentisitas nomor rekening berserta aktivitas transaksinya dari Pusat
Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dari tahun 2005 hingga 2010.
Pembuktian halal dan tidaknya uang di rekening itu
tidak hanya membutuhkan klarifikasi, tetapi juga investigasi yang berkelanjutan
dan mendalam. Bukan dengan emosi dan reaksi yang berujung kekerasan, namun
dengan keterbukaan terhadap kritik dan santun sikap, seperti pesan Presiden SBY
kepada semua anggota Polri.
Kalau tidak, wacana rekening “gemuk” perwira
polisi akan tersimpan dalam memoar kita, dengan dalil logis bahwa polisi memang
masih banyak masalah. Perlu dibersihkan. Tentu bila Polri tidak kebal hukum dan
tidak bertangan besi. Citra polisi masih di titik nadir, meskipun berhasil
menangkap dan menewaskan para teroris.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !