Dramaturgi Ritualitas Wisuda

Monday, 13 February 2012

Oleh: Fathurazi

Wisuda dinyana sebagai proses akhir menjalani status sebagai mahasiswa. Transmisi (bukan transformasi) mahasiswa menjadi sarjana dengan gelar –tak tentu menjamin kemampuan- dalam bidang tertentu, penuh cerita elegi dan tragedi melodramatis. Sejumput ijazah harus dibayar terlebih dulu dengan pertaruhan tenaga, energi dan dukungan dana. Rektorat mewajibkan sarjana harus mempunyai sekian syarat untuk bisa mengambil selembar sertivikat “ajaib” pendukung formalitas gelar kesarjanaan.

Sepengalaman penulis, amat susah untuk “mengakhiri hidup” sebagai mahasiswa. Selain membuat skripsi yang judul dan substansinya disyaratkan ketat oleh pihak dekanat, masih ada hal lain yang harus diselesaikan. Purna skripsi tidak otomatis pula purna menjadi mahasiswa. Utang atau tanggungan akademik dalam rigidnya sistem birokrasi kampus acapkali menjadi bumerang tersendiri. Dosa-dosa masa lalu ketika masih aktif kuliah sering nampak di masa akhir menuju wisuda. Mahasiswa yang sukses mengumpulkan dosa-dosa akademik tak ayal menjadi permainan menarik pihak birokrat, dosen hingga karyawan kampus.



Drama itu dimulai dari membuat proposal atau judul skripsi. Kalau ketua jurusan tidak setuju judul skripsi, alasan apapun tak akan bisa mengubah pendapatnya, kecuali menuruti. Dengan sekian keterpaksaan, dia harus menurut judul yang disarankan. Mencari pembimbing pun sama rumitnya. Kepada dua atau lebih pembimbing seperti syarat yang diwajibkan kampus, mahasiswa harus pandai-pandai mencari strategi mengharmoniskan pola pikir, metode pendekatan isi skripsi, hingga perbedaan ideologi antar mereka agar tak saling bertabrakan. Mahasiswa dalam dilema ini ibarat anak tiri dengan dua ibu kandung yang sedang berkonflik.

Elegi drama semakin kompleks kala sang mahasiswa pernah membuat luka pribadi terhadap seorang dosen. Nilai tertentu yang menjadi syarat keterbolehan menyusun skripsi, tak kunjung dia dapatkan darinya, padahal keterdesakan waktu wisuda –mungkin semester akhir- membuat dia bertaruh dengan drop out (DO). Sehingga, hanya untuk membubuhkan tanda tangan dalam skripsi yang dibimbingkan kepadanya, waktu dibuat ter-ulur-ulur. Alasanya bisa beragam, mulai dari kesibukan mengajar, kesibukan urusan rumah tangga, hingga kesibukan lain yang tidak substansial.

Pontang-panting mahasiswa mengejar tanda tangan. Gonjang-ganjing ia dengan tekanan-tekanan yang sebetulnya tidak perlu dan tidak berkaitan dengan basis pengembangan intelektual. Berhari-hari, berlama-lama di ruang kantor para dosen hanya untuk menemui atau sekadar minta bubuhan tanda tangan proposal skripsi. Dosen seperti pejabat yang sulit ditemui.

Hilangnya Nurani 
Setelah proposal skripsi jadi, tak lantas mahasiswa lolos uji. Ini tahapan yang paling menakutkan. Banyak mahasiswa yang berharap lolos ujian proposal dengan menggunakan langkah-langkah nepotis dan sejuta bujuk rayu kepada dosen. Seperti pencalonan kepala daerah, sebelum ujian, ada ajang silaturrahmi ke rumah dosen calon penguji. Dari mereka, tak jarang membawa parsel, pujian-pujian maut hingga salam tempel yang menggoda. Kalau tidak bisa ditemui di rumah, aksi pendekatan bisa dilakukan di ruang sidang ujian. Biar diluluskan.

Lebih melodramatis bila upaya pendekatan itu tak berhasil. Ada yang kemudian menggunakan bargaining kekuatan politik kampus. Yang pernah berkuasa di kampus, kalau tidak lulus ujian, dia bisa menggunakan kedekatan emosional politik atau ancaman-ancaman teror politik jabatan. Di sini acapkali mahasiswa mantan penguasa kampus yang lebih banyak “menang” melawan birokrasi. Secara akademik, skripsi yang dia buat mungkin menyalahi prosedur ilmiah, karena seratus persen plagiat total. Tapi karena sang mahasiswa punya kuasa dan kader massa yang setia, birokrasi tak mempermasalahkan itu semua. Ini nyata dan fakta. Karena dianggap berjasa terhadap kampus, se-plagiat dan se-semrawut apa pun karya akhir skripsinya, tetap akan diluluskan.

Bagi yang lulus skripsi dengan lancar, masih ada urusan lain menanti. Antara lain, dia harus meng-copy sejumlah skripsi dengan uang pribadi. Kepada perpustakaan kampus maupun daerah, dia harus bebas tanggungan pinjaman buku. Belum lagi biaya pesta wisuda yang sejatinya hanya hura-hura sementara itu. Nilainya bisa mencapai jutaan, disesuaikan dengan kebutuhan seremonialnya.

Yang berat adalah mahasiswa yang punya masalah dengan dosen atau mahasiswa mantan penguasa kampus, atau yang punya seteru politik abadi antar organ politik ekstra kampus. Drama kelulusannya akan penuh dengan pesakitan.

Kawan saya ada yang menangis pilu karena usahanya untuk lulus jadi sarjana di semester empat belas harus berhadapan banyak masalah; dengan dosen, teman seangkatan, hingga birokrasi. Padahal, dia punya tanggungan anak di rumah. Masalah yang dialaminya sebetulnya biasa saja, tapi menjelang lulus, seakan diada-adakan dan dibesar-besarkan. Dia menjadi permainan pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kehadirannya.

Kaum akademik kampus kita kian tak bernuranikah? Apa perlu wisuda diganti dengan pertemuan wali mahasiswa saja, biar tak ada yang semena-mena. Kalau pun mahasiswa punya dosa, tak layakkah dia menerima amnesti demi masa depannya? Jalan terjal wisuda penuh cerita drama dan elegi.

Di muat Majalah MISSI

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi