Dipo VS Media Group

Monday, 13 February 2012

Oleh: Fathurozi

Konflik  antara Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam dengan Media Group, bermula ketika Dipo mengimbau, seluruh instansi pemerintah tak memasang iklan pada media yang selalu mengkritik pemerintah, bagi media yang selalu menjelek-jelekan pemerintah tidak perlu diberi iklan atau pun tidak wajib dihadiri,  jika diundang. Dengan dasar ini, media pimpinan Surya Paloh, melaporkan Dipo ke Badan Reserse Kriminal Polri, karena tak meminta maaf dalam 3 x 24 jam. (Koran tempo, 1/3). Bukannya takut atas laporan tersebut, Justru sebaliknya Dipo melaporkan media itu ke Mabes Polri.

Dalam konteknya, baik  media cetak maupun elektonik, berjuang di arena sosial, seorang jurnalis dalam menulis akan meramu antara idealisme, ketrampilan dan rasa manusiawi, sehingga mereka dalam menulis sangat hati-hati dan didukung data di lapangan. Meskipun tiap media  memiliki gaya penulisan yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yakni penegakan demokrasi.


Tak heran, bila kita membaca satu media dengan media yang lain akan berbeda, karena ia (media) akan melakukan suatu peristiwa disesuaikan dengan visi misi-nya. Terkadang ada peristiwa yang diberitakan di media A tapi di media B tak diberitakan, mungkin saja berita itu penting bagi media A, layak diberitakan dan sebaliknya, media B menganggap tak penting, begitu indahnya media menghargai perbedaan ini. Perbedaan semacam ini, tentu bukan menekankan pada bias atau distorsi pemberitaan media, namun untuk memberikan ilustrasi bagaimana berita yang kita baca tiap hari telah melalui proses konstruksi (Eriyanto, 2004).

Di sisi lain, media juga sebagai “Agen of Change” bertugas menyalurkan aspirasi masyarakat pada pemerintah serta kritikan, sehingga akan tercipta rakyat yang peka terhadap perubahan sosial politik. Tanpa pers pemerintah akan pincang karena pemerintah  membutuhkan pers sebagai media sosialisasi peraturan atau kebijakan yang menyakut khalayak.

Dalam  Istilah pers konteks historis “press freedom or law”dan“power of the press”. Pers dipandang memiliki kekuatan mempengaruhi masyarakat secara massal. (John C. Merrill, 1991). Dari sini lah pers bisa dijadikan alternatif sebagai alat mediasi, dengan aturan yang dimiliki yakni kode etik dan tetap menjujung tinggi hukum. Bila ada seseorang yang tersendir, jangan bereaksi berlebihan, seperti Dipo, karena pers  mempunyai aturan main sendiri.

Sayangnya pers kurang  mendapat tempat dikalangan pemerintah, dari pusat hingga daerah, jika berita yang disajikan mengkritik maka dibenci, tapi bila berita mendukung  akan direspon baik. Namun, kelihatannya media pers kurang balance dalam memberitakan peristiwa, karena terkadang hanya mengambil satu narasumber. Mungkin pengelola media terjebak  pada pemilik modal, biasanya kelompok atau perseorangan tak puas terhadap pemberitaan media, ia akan membuat media sendiri sebagai media tandingan.

Terlepas dari mana yang benar dan salah, dalam sejarah pers di Indonesia selalu mendapat tekanan dari pihak tertentu semisal, Koran Indonesia Raya yang dikenal selalu kritis, antikorupsi dan memperjuangkan rakyat, tahun 1974 tepatnya peristiwa Malari mengalami pembredelan dan Tempo juga mengalami hal serupa terjadi sekitar 1994. Di era kebebasan ekspresi, tekanan terhadap pers semakin menjamur.

Pada dasarnya media menegakan kebenaran dan menghancurkan kebathilan, tapi akhir-akhir ini, media di Indonesia begitu semangatnya memberitakan kebobrokan pemerintah, padahal jika pimpinan bobrok bagaimana dengan rakyatnya?

Hak Jawab
Polemik Dipo dan Media Group, bersaingan dengan kisruh Nurdin Halid (PSSI) dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, hangat dibicarakan dikalangan akademisi, LSM, partai politik hingga gedung DPR ikut urun rembuk dalam memecahkan masalah tersebut dan kasus yang lain berhenti tanpa klimak. Masyarakat dibikin bingung  dengan kejadian-kejadian yang selalu melebar  tanpa ujung.

Sementara masyarakat  sedang  dipusingkan memikirkan kebutuhan hidup, disuguhi berita-berita kegagalan penegakan hukum, sudah cukup kiranya konflik semacam itu, kasihan pada rakyat yang semakin stres mendengarnya.

Kembali pada pokok pembicaraan, kisruh Dipo dan Media Group sebenarnya tak perlu berlarut-larut, jika kedua kubu memahami Undang-undang pers No. 40/1999, pasal 1 ayat 11 disebutkan, pers harus memberikan hak Jawab. Hak jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Kekurangan memahami UU pers, khalayak  yang tersindir bertindak tanpa rasio semisal, ada pula pendukung sang tokoh, dengan berbondong-bondong mendatangi kantor redaksi menuntut minta maaf. Terkadang juga, media kurang memberikan ruang hak jawab secara proposial.

Padahal pers melayani koreksi atau kekeliruan informasi yang diberikan seperti yang tertuang dalam pasal 1 Ayat 12 UU 40/1999. Jika hak-hak tersebut sudah dipenuhi media, maka konflik apapun tak akan pernah terjadi, tapi khalayak pembaca kurang mengetahui pemilikan hak tersebut. Sehingga yang terjadi hanyalah Miscomunication.

Demi menghindari kejadian serupa sebaiknya kedua belah pihak mengambil jalan tengah yaitu saling mengoreksi diri sendiri, maka akan menemukan kejanggalan-janggalan pada dirinya, dan mengedepankan azas praduga tak bersalah. Bagi media para jurnalis dibekali teknik-teknik menyajikan data yang akurat semisal, tiap berita diharuskan menyajikan narasumber yang pro dan kontra sehingga akan tercipta keharmonisan.

Bagi pihak yang tersinggung harus menghargai tiap berita yang disajikan, jika mengalami kesalahan, sebaiknya melayangkan surat koreksi baik berupa surat elektronik  maupun telephone dan media harus membetulkan kesalahannya. Jika media kurang merespon tanggapan tersebut, diadukan ke dewan pers. Dewan pers lah yang akan menindaklanjuti, baiknya tiap konflik yang bersangkutan dengan pers diselesaikan secara peraturan pers, bukan peraturan yang kaku.

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi