Oleh: Fathurozi
Konflik
antara Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam dengan Media Group, bermula
ketika Dipo mengimbau, seluruh instansi pemerintah tak memasang iklan pada
media yang selalu mengkritik pemerintah, bagi media yang selalu
menjelek-jelekan pemerintah tidak perlu diberi iklan atau pun tidak wajib
dihadiri, jika diundang. Dengan dasar ini, media
pimpinan Surya Paloh, melaporkan Dipo ke Badan Reserse Kriminal Polri, karena
tak meminta maaf dalam 3 x 24 jam. (Koran tempo, 1/3). Bukannya takut
atas laporan tersebut, Justru sebaliknya Dipo melaporkan media itu ke Mabes
Polri.
Dalam konteknya, baik media cetak maupun elektonik, berjuang di
arena sosial, seorang jurnalis dalam menulis akan meramu antara idealisme,
ketrampilan dan rasa manusiawi, sehingga mereka dalam menulis sangat hati-hati
dan didukung data di lapangan. Meskipun tiap media memiliki gaya penulisan yang berbeda, namun
memiliki tujuan yang sama yakni penegakan demokrasi.
Tak heran, bila kita membaca satu media dengan
media yang lain akan berbeda, karena ia (media) akan melakukan suatu peristiwa
disesuaikan dengan visi misi-nya. Terkadang ada peristiwa yang diberitakan di media
A tapi di media B tak diberitakan, mungkin saja berita itu penting bagi media A,
layak diberitakan dan sebaliknya, media B menganggap tak penting, begitu indahnya
media menghargai perbedaan ini. Perbedaan semacam ini, tentu bukan menekankan pada
bias atau distorsi pemberitaan media, namun untuk memberikan ilustrasi
bagaimana berita yang kita baca tiap hari telah melalui proses konstruksi
(Eriyanto, 2004).
Di sisi lain, media juga sebagai “Agen of
Change” bertugas menyalurkan aspirasi masyarakat pada pemerintah serta
kritikan, sehingga akan tercipta rakyat yang peka terhadap perubahan sosial politik.
Tanpa pers pemerintah akan pincang karena pemerintah membutuhkan pers sebagai media sosialisasi
peraturan atau kebijakan yang menyakut khalayak.
Dalam
Istilah pers konteks historis “press freedom or
law”dan“power of the press”. Pers dipandang memiliki kekuatan mempengaruhi
masyarakat secara massal. (John C. Merrill, 1991). Dari sini lah pers bisa dijadikan alternatif sebagai alat mediasi,
dengan aturan yang dimiliki yakni kode etik dan tetap menjujung tinggi hukum.
Bila ada seseorang yang tersendir, jangan bereaksi berlebihan, seperti Dipo,
karena pers mempunyai aturan main
sendiri.
Sayangnya pers
kurang mendapat tempat dikalangan
pemerintah, dari pusat hingga daerah, jika berita yang disajikan mengkritik
maka dibenci, tapi bila berita mendukung akan direspon baik. Namun, kelihatannya media
pers kurang balance dalam
memberitakan peristiwa, karena terkadang hanya mengambil satu narasumber. Mungkin
pengelola media terjebak pada pemilik
modal, biasanya kelompok atau perseorangan tak puas terhadap pemberitaan media,
ia akan membuat media sendiri sebagai media tandingan.
Terlepas dari mana
yang benar dan salah, dalam sejarah pers di Indonesia selalu mendapat tekanan
dari pihak tertentu semisal, Koran Indonesia Raya yang dikenal selalu kritis,
antikorupsi dan memperjuangkan rakyat, tahun 1974 tepatnya peristiwa Malari
mengalami pembredelan dan Tempo juga mengalami hal serupa terjadi sekitar 1994. Di
era kebebasan ekspresi, tekanan terhadap pers semakin menjamur.
Pada dasarnya media menegakan kebenaran
dan menghancurkan kebathilan, tapi akhir-akhir ini, media di Indonesia begitu
semangatnya memberitakan kebobrokan pemerintah, padahal jika pimpinan bobrok
bagaimana dengan rakyatnya?
Hak Jawab
Polemik Dipo dan Media Group, bersaingan
dengan kisruh Nurdin Halid (PSSI) dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi
Mallarangeng, hangat dibicarakan dikalangan akademisi, LSM, partai politik
hingga gedung DPR ikut urun rembuk
dalam memecahkan masalah tersebut dan kasus yang lain berhenti tanpa klimak.
Masyarakat dibikin bingung dengan
kejadian-kejadian yang selalu melebar tanpa ujung.
Sementara masyarakat sedang dipusingkan memikirkan kebutuhan hidup,
disuguhi berita-berita kegagalan penegakan hukum, sudah cukup kiranya konflik
semacam itu, kasihan pada rakyat yang semakin stres mendengarnya.
Kembali pada pokok pembicaraan, kisruh
Dipo dan Media Group sebenarnya tak perlu berlarut-larut, jika kedua kubu
memahami Undang-undang pers No. 40/1999, pasal 1 ayat 11 disebutkan, pers harus
memberikan hak Jawab. Hak jawab adalah
seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan
terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Kekurangan
memahami UU pers, khalayak yang
tersindir bertindak tanpa rasio semisal, ada pula pendukung sang tokoh, dengan
berbondong-bondong mendatangi kantor redaksi menuntut minta maaf.
Terkadang juga, media kurang memberikan ruang hak jawab secara proposial.
Padahal pers
melayani koreksi atau kekeliruan informasi yang diberikan seperti yang tertuang
dalam pasal 1 Ayat 12 UU 40/1999. Jika
hak-hak tersebut sudah dipenuhi media, maka konflik apapun tak akan pernah terjadi,
tapi khalayak pembaca kurang mengetahui pemilikan hak tersebut. Sehingga yang
terjadi hanyalah Miscomunication.
Demi menghindari kejadian serupa sebaiknya
kedua belah pihak mengambil jalan tengah yaitu saling mengoreksi diri sendiri,
maka akan menemukan kejanggalan-janggalan pada dirinya, dan mengedepankan azas praduga tak bersalah. Bagi media para
jurnalis dibekali teknik-teknik menyajikan data yang akurat semisal, tiap berita
diharuskan menyajikan narasumber yang pro dan kontra sehingga akan tercipta
keharmonisan.
Bagi pihak yang tersinggung harus
menghargai tiap berita yang disajikan, jika mengalami kesalahan, sebaiknya
melayangkan surat koreksi baik berupa surat elektronik maupun telephone
dan media harus membetulkan kesalahannya. Jika media kurang merespon tanggapan
tersebut, diadukan ke dewan pers. Dewan pers lah yang akan menindaklanjuti,
baiknya tiap konflik yang bersangkutan dengan pers diselesaikan secara peraturan
pers, bukan peraturan yang kaku.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !