Khotbah I
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قال الله قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Pertama, mari kita mengingatkan pribadi kita masing-masing untuk senantiasa
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah, utamanya dengan
senantiasa berusaha menjalani segala perintah Allah an menjauhi larangannya.
Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang senantiasa
kita harapkan syafaatnya di yaumul qiyamah.
Dalam suasana bulan rajab kali ini, khatib mengajak pribadi khatib juga para jamaah untuk mempelajari kembali sejarah dan hikmah penentuan arah kiblat dalam salat.
Jamaah Jumah
rahimakumullah
Allah memerintahkan manusia menghadap-Nya setiap waktu
agar keberadaan-Nya senantiasa mendapatkan porsi lebih dalam kesadaran manusia.
Tidak hanya dengan hati atau pikiran, melainkan juga mengikutsertakan tubuh
materinya. Ketika tubuh yang bercirikan materi membutuhkan satu arah khusus,
maka di sanalah pentingnya kiblat sebagai arah menghadap.
Dalam sejarah, arah salat umat Islam pernah mengalami
perpindahan. Ketika di Makkah, Nabi mengerjakan salat di selatan kakbah dengan
menghadap Baitul Maqdis, sehingga ketika salat, Nabi menghadap dua kiblat
sekaligus.
Pada masa Jahiliyah, orang Arab sangat menghormati Baitul Haram. Mereka menjadikannya simbol kebesaran kelompok mereka secara ekslusif, dan kental dengan peribadatan berpaham Jahiliyah. Islam datang dengan memurnikan tauhid berusaha menghalau pengaruh buruk akidah Jahiliyah bagi umat Islam agar tidak bercampur dengan akidah yang benar. Di antara cara Islam memurnikan ajarannya dengan memerintahkan umatnya salat menghadap Masjidil Aqsha ketika masih di Makkah dan beberapa waktu di Madinah. Setelah hijrah di Madinah, kurang lebih selama 15/16/17 bulan, nabi kemudian diperintahkan Allah untuk berkiblat ke kakbah di Makkah, bertepatan saat salat zuhur.
Jamaah Jumah rahimakumullah
Di antara alasan
mempertahankan kiblat ke Baitul Maqdis beberapa waktu itu adalah untuk mencari
simpati masyarakat Yahudi, namun hal ini ternyata tidak sesuai dengan yang
dikehendaki. Kehadiran Nabi yang berbangsa Arab justru dianggap menggeser
status kelompok Yahudi yang mulai mapan di tengah masyarakat Arab Yastrib. Banyak
di antara mereka yang mencoba menjatuhkan Nabi dengan menggunakan
tradisi-tradisi lama. Mereka mengatakan bahwa para rasul selalu mengunjungi
Baitul Maqdis, bahkan menjadikannya tempat tinggal. Jika benar Muhammad adalah
seorang rasul, pasti sebentar lagi akan pindah ke sana dan Madinah hanyalah
sebagai tempat singgah. Mereka juga menganggap bahwa dengan menghadap Baitul
Maqdis ketika beribadah, Nabi tidak keluar dari tradisi nabi-nabi Israil.
Dengan demikian Nabi seolah dianggap sebagai bagian dari tradisi keturunan
Israil. Tentu saja hal ini adalah anggapan yang salah. Hal ini dapat dipahami
sebagai sindiran bahwa mereka tidak merestui keberadaan Nabi di kota tersebut,
dan Nabi mulai terganggu dengan hal ini.
Situasi ini mendorong
Nabi untuk mengharap agar turun wahyu perintah pemindahan kiblat ke kakbah,
sebagaimana digambarkan Alquran surat Albaqarah: 144 di awal, bahwa Nabi
berulang menghadap ke arah langit agar Allah menurunkan perintah.
“Kami melihat wajahmu
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan menghadapkanmu ke kiblat yang kamu
sukai. Hadapkan wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada,
hadapkan wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang diberi Alkitab memang mengetahui bahwa menghadap (berpaling) ke Masjidil
Haram itu adalah benar dari Tuhannya. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari
apa yang mereka kerjakan.”
Setelah hal ini, orang-orang Yahudi pun menyesalkannya. Mereka berupaya memperdaya Nabi agar kembali ke kiblat sebelumnya dan berjanji akan menjadi pengikutnya (Albaqarah: 142-143). Penetapan kiblat pada masa itu juga meruapakan penanda untuk mengetahui pengikut Nabi dan mana yang membelot. Akan tetapi, keputusan Allah tidak dapat diubah lagi, kiblat sejak itu ditetapkan menghadap ke kakbah di Masjidil Haram.
Jamaah Jumat Rahimakumullah
Muncul pertanyaan,
mengapa Nabi memilih kakbah, bukankan kakbah telah menjadi simbol jahiliyah,
apa keistimewaannya?
Makkah dengan kakbahnya
memiliki sejarah yang terkait dengan agama samawi lainnya. Nabi Ibrahim selaku
bapak para Nabi, moyang dari dua bangsa Arab dan Israel, dan sangat dihormati
tiga agama samawi pernah diperintah Allah ke Makkah. Makkah menjadi saksi
kesalihan dan kepatuhannya kepada Allah. Nabi Ibrahim rela meninggalkan anak
dan isterinya sendirian di lembah tandus tanpa bekal. Di waktu lain, Nabi
Ibrahim juga melaksanakan pengorbanan untuk berniat menyembelih Ismail putra
terkasihnya. Nabi Ibrahim dan Ismail pada masa berikutnya juga membangun
baitullah, menjaga dan melestarikannya agar tetap suci sesuai kehendak Allah.
Makkah yang menjadi
saksi tempat ibunda Ismail yang merupakan hamba sahaya pernah ditinggalkan atas
perintah Allah. Di sana peninggalannya masih lestari dan prosesinya diabadikan
dalam rangkaian haji. Di tempat ini manusia dingatkan bahwa ras dan status
sosial tidak menghalangi seseorang mendapatkan derajat tinggi. Dari rahim
seorang sahaya, lahir manusia-manusia mulia bahkan paling mulia, yaitu Muhammad
saw.
Dengan demikian
terdapat keterkaitan erat antara kakbah, tokoh panutan agama samawi, sejarah
pengorbanan dan ketaatan kepada tuhan, serta penghormatan Allah kepada hambanya
yang salih tanpa memandang ras dan status sosial. Hal ini juga merupakan penghormatan
terhadap kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya, dengan menghadap kakbah setiap
salat, terselip pesan Allah akan hal ini. Wallahu, a’lam
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي
وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ
مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ،
وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ
أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ،
وَأَحُثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحًمُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ اْلقُرْآنِ
الْكَرِيْمِ: يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، وَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ
السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. صَدَقَ
اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى
ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ
عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا. اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْياَءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ
سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَقَاضِيَ الْحَاجَاتِ.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا
أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ
عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ
لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا
فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار.
عِبَادَ اللهِ! إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ،
فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ
يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ
أَكْبَرُ
Kemenag-R.I. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Shihab, M. Q. (2019). Wasathiyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. Ciputat: Lentera Hati.
Tanya Jawab Moderasi
Beragama. (2019). Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !