Harta Istri Bukan Milik Suami

Wednesday, 5 August 2020

Khotbah I

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ التّقْوَى خَيْرَ الزَّادِ وَاللِّبَاسِ وَأَمَرَنَا أَنْ تَزَوَّدَ بِهَا لِيوْم الحِسَاب اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ رَبُّ النَّاسِ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المَوْصُوْفُ بِأَكْمَلِ صِفَاتِ الأَشْخَاصِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وسَلّمْ تَسليمًا كَثِيرًا ، أَمَّا بَعْدُ ، 
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قال الله

و على المولود كسوتهن بالمعروف (البقرة 233)

Jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah

Pertama, mari kita mengingatkan pribadi kita masing-masing untuk senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah, utamanya dengan senantiasa berusaha menjalani segala perintah Allah an menjauhi larangannya. Salawat erta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang senantiasa kita harapkan syafaatnya di yaumul qiyamah.

Alhamdulillah pada hari ini kita sudah menapaki ramadan hari ke 16 dan nanti malam kita sambut malam Nuzulul Quran, hari peringatan turunnya wahyu kepada Nabi Besar Muhammad juga seluruh umat. Kita ingat, ayat pertama yang turun adalah “Iqra’” seruan untuk membaca, istilah yang lebih populer saat ini adalah berliterasi. Membaca yang bisa dimaknai secara luas, di antaranya adalah belajar.

Namun demikian, dalam kesempatan kali ini, khatib tidak hendak mengajak untuk mengakaji nuzulul quran maupun perintah ber-iqra atau berliterasi, melainkan mengambil sedikit semangatnya untuk terus belajar, salah satunya adalah mempelajari kembali posisi harta suami isteri. Materi khutbah pada siang ini adalah “harta isteri bukan milik suami”.

 Jamaah Jumah rahimakumullah

Ada sebuah kisah hikmah,

Suatu saat, Kiai Muhammadun Pondowan Tayu Pati bersama Kiai Abdullah Salam dan Kiai Sahal Mahfudz berjalan kaki bersama seteleh menghadiri sebuah acara di satu tempat. Diantara ketiganya, Kiai Muhammadun yang paling dituakan.

Dalam perjalanan, tiba-tiba Kiai Muhammadun mendapat tawaran tumpangan dari seorang anak muda pengendara sepeda motor. “Maaf Kiai, mari saya antarkan” kata pemuda menawari. “Oh, tidak, terima kasih,” tolak kiai dengan nada halus.

Pengendara motor mengulangi tawaran sebagai tanda tulus ikhlas. Namun Kiai Muhammadun tetap tidak berkenan hingga mereka bertiga ditinggalkan pemuda tersebut.

“Sampean tahu, mengapa saya menolak tawaran lelaki tadi?” tanya Kiai Muhammadun kepada Kiai Sahal.

“Hm, itu kan karena kiai tidak enak hati sama kita berdua,” jawab Kiai Sahal.

“Bukan,” sanggah Kiai Muhammadun. “Saya tolak karena saya tahu, dia adalah lelaki kurang mampu dan istrinya adalah orang kaya.”

Kiai Abdullah Salam dan Kiai Sahal mendengarkan secara seksama, sedangkan Kiai Muhammadun melanjutkan alasan penolakannya.

“Adapun sepeda motor yang ia kendarai menurut dugaanku bukan miliknya sendiri, tetapi kepunyaan sang istri. Saya tidak berani menumpang karena ia belum meminta ijin istrinya sebagai pemilik kendaraan untuk mengantarkan saya,” jelas Kiai Muhammadun.

Begitulah contoh kehati-hatian pribadi orang alim dan cerdas dalam beragama. Ia mengetahui hukum kemudian mengamalkan dengan jalan hati-hati, tidak serampangan.

 Banyak kiai yang dalam kesehariannya melaksanakan hukum Islam secara leterlek (sesuai teks ajaran ulama salaf). Dalam hal ini, Kiai Muhammadun dan kiai-kiai lain banyak yang memilah antara harta suami dan istri sesuai ajaran kitab. Urusan nafkah adalah kewajiban suami, sedangkan jika istri mempunyai harta sendiri, itu merupakan hak mereka pribadi tanpa menutup kemungkinan suami boleh memanfaatkan atas ijin istri.

Allah berfirman,

و على المولود له رزقهن و كسوتهن بالمعروف

“Wajib bagi setiap suami untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada istri, dengan sepantasnya.” (Q.S. Al-Baqarah:233)

 Ayat di atas menunjukkan bahwa dalam sebuah keluarga hukum asal yang berlaku: sang suami memberikan nafkah kepada istri. Karena itu, dalam harta yang diperoleh suami, ada bagian yang harus diberikan kepada istri sebagai nafkah. Suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri termasuk perbuatan zalim, dan istri berhak untuk mengambilnya sesuai dengan kebutuhannya, tanpa harus izin kepada suaminya.

 Dinyatakan dalam hadis dari Hindun binti Utbah radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau mengadukan perihal suaminya (Abu Sufyan) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang pelit. Dia tidak memberikan harta yang cukup untuk kebutuhanku dan anak-anakku, kecuali jika aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,

خذي ما  يكفيك و ولَدِك بالمعروف

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Ambillah hartanya, yang cukup untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu, sewajarnya.”

 Ayat dan hadis di atas memberikan konsekuensi sebaliknya; bahwa wanita tidak wajib memberikan hartanya kepada suaminya.  Harta istri sepenuhnya menjadi milik istri, dan dia tidak berkewajiban memberikan sebagian hartanya tersebut kepada suaminya. Sehingga, wanita berhak mengeluarkan hartanya untuk kepentingannya atau untuk sedekah, tanpa harus meminta izin kepada suaminya.

 Di antara dalilnya adalah hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berceramah di hadapan jamaah wanita,

يا معشر النساء تصدقن فإني أرأيتكن أكثر أهل النار

“Wahai para wanita, perbanyaklah sedekah, karena saya melihat kalian merupakan mayoritas penghuni neraka.”

 Seketika itu, para wanita itu pun berlomba-lomba menyedekahkan perhiasan mereka, dan mereka melemparkannya di pakaian Bilal. (H.R. Muslim 304).

 Dalil yang lainnya adalah hadis dari Abu Said Al-Khudri, bahwa suatu ketika, Zainab (istri Ibnu Mas’ud) hendak membayar zakat perhiasan yang dia miliki. Kemudian beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bolehkah istri memberikan zakatnya kepada suaminya dan anak yatim dalam asuhannya?

 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نعم لها أجران أجر القرابة و أجر الصدقة

“Ya, silakan. Dia mendapat dua pahala: pahala menjaga hubungan kekerabatan dan pahala bersedekah.” (HR. Bukhari 1466)

 Si Istri (istri Ibnu Mas’ud) bersedekah kepada suaminya (Ibnu Mas’ud) karena Ibnu Mas’ud adalah orang yang miskin, sementara istrinya kaya. Ini menunjukkan bahwa harta istri murni menjadi miliknya dan suami sedikitpun tidak turut memilikinya. Jika suami turut memilikinya, tentu saja suami tidak boleh mendapatkan zakat dari harta istrinya. Ini berbeda ketik suamia kaya sementara istri tidak mampu, suami tidak beleh memberikan zakatnya kepada istrinya. Karena suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya.

 Kami menasehatkan kepada para suami yang mengambil harta istrinya tanpa kerelaannya, atau tidak memberikan nafkah dalam batas wajar kepada istrinya, hendaknya dia bertaubat kepada Allah. Karena tindakannya adalah kedzaliman, yang pasti akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Yang Maha Melihat dan Mendengar semua perbautan hamba-Nya.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ

Khotbah II


اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَأَحُثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحًمُوْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ اْلقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، وَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.  
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْياَءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَقَاضِيَ الْحَاجَاتِ.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار.
عِبَادَ اللهِ! إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ، فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ  وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi