![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZK9HLoR175wUPWuepnX2sj6hyphenhyphenM-Rf7dHJ_2eizrdtpCG6GdnGXoxKGOHjmkJPIL1vLGPWZ1SXF9YnkL1BBhq7rB5Q4GU1jdcQ9ZcVjF_JnmcCJl4yP7g8ElAlMbpyOZjiW7JUf8DU_f0/s200/Buku+Mengelola+Kemajemukan+Umat+Beragama.jpg)
Pelarangan dan pembatasan aktivitas keagamaan atau kegiatan peribadatan tercatat 49 kasus. Bahkan, pertengahan Mei 2012, forum PBB mengatakan Indonesia sebagai negara yang intoleran terhadap umat beragama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene melindungi kerukunan umat agama di Indonesia terkadang kurang berpikir panjang tentang fatwa yang akan dikeluarkan. Contoh, MUI mengeluarkan 11 fatwa mengharamkan ajaran liberalisme, sekulerisme, pluralisme dan Ahmadiyah. Namun, fatwa ini kurang mendapat dukungan dari sebagian organisasi Islam.
Sejak fatwa itu disosialisasikan, terjadilah konflik antarumat agama, seperti penyerangan kantor Jaringan Islam Liberal. Jemaat Ahmadiyah di Lombok, NTB, dan Bogor tak luput dari serangan (hlm 45).
Hal ini menandakan Indonesia sebagai negara plural sejak awal sudah menyimpan berbagai masalah kerawanan sosial keagamaan. Tak ayal hingga dekade ini pemerintah disibukkan dengan kerusuhan atas nama agama. Ironi, agama menjadi sumber konflik. Lebih tak masuk akal, orang beragama suka konflik.
Buku berjudul Mengelola Kemajemukan Umat Beragama membeberkan hubungan antarumat beragama di tingkat regional dipengaruhi kondisi kehidupan antarumat di tingkat global. Konflik yang terjadi di Indonesia secara tidak langsung dipengaruhi kondisi lingkungan strategis tingkat global, regional, dan nasional (hlm 69).
Penyebab konflik di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama faktor endogen, munculnya aliran kepercayaan atau sempalan dalam suatu agama. Lalu eksogen, unsur dari luar yang mudah memicu konflik, seperti ketimpangan sosial politik, ekonomi, dan perlakuan diskriminatif.
Terakhir relasional, menyangkut hubungan antarumat beragama antara lain menyangkut pendirian rumah ibadah dan ekslusivisme. Konflik yang terjadi di tiap agama karena persoalan lama yang mengemuka seiring adanya kebebasan dan keterbukaan di era reformasi (hlm 47).
Di sinilah perlunya kesamaan kata dan langkah tentang persamaan dalam perbedaan (the sames in the diff erential), keragaman (plurality), kesetaraan (equality), keadilan (justice), dan nilai-nilai demokrasi (democration values) dalam berbagai aktivitas masyarakat.
Buku 232 halaman ini memberi solusi konflik yang mengganggu ketenangan umat beragama di Tanah Air. Mengharmonisasikan kerukunan umat beragama harus berdasarkan beberapa prinsip, di antaranya paradigma nasional, kebijakan pembangunan kehidupan beragama yang mendukung persatuan dan kesatuan bangsa serta memperkuat stabilitas nasional. Konsepsi yang dikembangkan harus bisa dijalankan dalam kegiatan terarah (hlm 182).
Mengelola kemajemukan beragama mutlak diperlukan agar eksistensi bangsa tidak terancam dan cita-cita nasional dapat terwujud. Membangun keharmonisan kehidupan beragama harus dilakukan secara sadar dan terpadu dengan melibatkan semua komponen bangsa, baik pemerintah, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama. Buku ini bentuk keprihatinan atas kekerasan bernuasa agama yang tak kunjung usai.
Diresensi Fathurozi, Pemerhati Buku, Tinggal di Semarang.
Judul : Mengelola Kemajemukan Umat Beragama
Penulis : Bahrul Hayat
Penerbit : PT Saadah Cipta Mandiri Jakarta Selatan
Tahun : Cetakan I, April 2012
Tebal : x 232 halaman
ISBN : 978-602-18193-0-2
Di muat Koran Jakarta, Senin 27 Agustus 2012
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !