Londo Ireng, Suaranya Bindeng

Sunday 4 March 2012


Oleh       : Fathurozi

Judul :  Serdadu Afrika di Hindia-Belanda 1831-1945
Penulis     :  Ineke van Kessel
Penerbit :  Komunitas Bambu
Tahun :  Mei 2011
Tebal   :  xiv + 306 halaman
Harga :  70.000


KETIKA dengar kata Afrika? Kita akan mengatakan orang berkulit hitam, pandai mengolah si kulit bundar dan jaringan pengedar narkoba, tapi ternyata orang Afrika sudah masuk ke tanah Jawa pada abad ke 19, ia hidup berbaur dengan masyarakat Jawa.

Buku berjudul “Serdadu Afrika di Hindia belanda 1983-1945”, mengambarkan Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan 3085 pria asal Afrika Barat, dijadikan prajurit karena menurut Belanda serdadu dari Afrika tahan banding di bandingkan dengan serdadu Eropa.

Prajurit Afrika di bekali dengan latihan militer di Jawa. Usai pendidikan militer mereka diterjunkan ke beberapa wilayan Indonesia yakni, Sumatra, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Bali, Timor, dan perang Aceh. Tahun 1873-1893, ia (prajurit Afrika) ikut andil dalam menumpas pemberontak di Borneo, Celebes, Bali kepulauan Maluku dan Timor (hal. 137) dan di andalkan dalam perang Padri. dan Aceh.

Setelah misi para Prajurit Afrika selesai, mereka tinggal di berbagai wilayah di Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, dari tahun ke tahun semakin bertambah, untuk menghidari gesekan dengan orang Jawa, pemerintah Hindia Belanda mengambil inisiatif membangun perkampungan. Terbitlah SK  tertanggal 30 Agustus 1859, No. 25. Gubernemen Belanda membeli tanah di Desa Pangenjuru tengah. Di peruntukan bagi mantan prajurit Afrika, tiap satu orang mendapatkan luas tanah  1150 m², tanah tersebut di bangun rumah dan selebihnya buat cocok tanam.

Letnan Doris Land salah satu Veteran Afrika, selama hidupnya tak membagikan pengalamannya pada orang lain bahkan anaknya sendiri. Tahun 1989, Doris Wafat, ditemukan lah arsip yang tersimpan dalam koper yang isi Het ontstaan van de Afrikaansch kampong te Poerworedjo (Munculnya Kampung Afrika di Purworejo). Pada bait terakhir sang Letnan menorehkan tanda tangan, tertanggal 20 juni 1939 dan menghapus kata “ong” pada “Kampong” menjadi “Kamp” mungkin saja biar tak di anggap “Kampungan”. (hal.221).

Dalam skripsinya Endri Kusruri, berjudul “Orang-orang Afrika di Purworejo: Suatu Analisa Historis Sosiologis Atas Latar Belakang dan Peranan Mereka”. Menemukan penempatan veteran di Purworejo merupakan strategi Belanda, untuk menundukan para pemberontak karena daerah itu menjadi sumber perang Jawa (1825-1830) dan memudahkan mengawasi gerak geriknya.  Tahun 1830 perang Jawa Usai, Ironisnya pada tahun 1840, mereka mengangkat sejata melawan pemerintah Belanda (hal.222). Pasca kemerdekaan Indonesia, serdadu Afrika di bebaskan memilih 2 opsi yakni Pertama, kembali ke asal negaranya, Kedua menetap di Indoneia.

Buku Karya Ineke Van Kessel, juga menyajikan pengalaman kepala Staf Tentara Keamanan Rakyat yaitu  Jenderal Oerip Soemohajo mengukapkan, waktu usia 17 tahun, saat bermain dengan anak keturunan Afrika yang fasih berbahasa Belanda, sementara Oerip kurang bisa berbahas belanda dan anak afrika mengatakan, bahasa Belanda Oerip berantakan.

Tak terima ejakan itu, Oerip mengajak teman sebayanya menyerang kampung Afrika sambil berteriak, “Londo ireng tunteng, irunge mentol, suarane bindeng!” (Belanda Hitam, hidungnya besar karena itu suaranya bindeng). Tak terima dengan perkataan Oerip, orang Afrika mengadukan pada kepala desa, kemudian kepala desa memanggil orang tua Oerip. Dia berjanji akan mendidik Oerip tetapi dengan syarat anak Afrika jangan mengejek anak saya (hal.224)

Buku setebal 306, memberikan wacana baru , tentang sejarah bangsa Indonesia yang luput dari catatan sejarawan kita. Saya sarankan bagi mahasiswa, peminat kajian sejarah, antropologi, dan sosiologi untuk memiliki buku ini karena akan menambahkan ilmu pengetahuan  yang berguna dalam penelitian.

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi