Oleh Fathurozi
Rokok sudah menjadi gaya hidup masyarakat desa dan kota. Karena rokok menjelma sebagai simbol bergaulan antar warga. Semisal ketika ronda warga selalu membawanya. Konon rokok juga dapat mempererat tali persaudaraan. Padahal dalam bungkus rokok terterah peringatan “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Namun pencandu atau pengemar rokok tak memperdulikannya.
Di sisi lain rokok sebagai alat pembayaran atau uang rokok. Kata “uang rokok” sering kita dengar di lingkungan kita, ucapan tersebut terlontar, jika menyuruh tetangga untuk membantu pekerjaan ringan. Sudah dipastikan akan memberikan imbalan, sambil bilang “hanya bisa kasih uang rokok”. Karena watak orang Jawa lebih mengedepankan rasa pakewuh.
Rokok merabah ke birokrasi pemerintahan. Semisal kelurahan hingga kecamatan. jika ada warga yang ingin membuat kartu tanda penduduk (KTP). Warga tak segan-segan menyodorkan uang pecahan, sambil berkata “Sekadar beli rokok”. Artinya rokok tak dapat dipisahkan dalam ruang lingkup masyarakat.
Perang Opini
Genderang perang opini rokok, terjadi sekitar tahun 80-an, pada konferensi dunia tentang tembakau dan kesehatan. Dalam Forum tersebut terjadi perdebatan sengit antara perusahaan rokok vs perusahaan farmasi. Akibatnya tahun 90-an, perusahaan farmasi dan komunitas kesehatan gencar memproduksi obat-obat anti rokok dan kampaye keberbagai negara. Namun rivalnya tak mau kalah dengan cara mempromosikan dalam sekala besar.
Di Indonesia komunitas kesehatan berbagai cara memberantas pertumbuhan angka perokok. Semisal perusahaan rokok dilarang terlibat dalam event olah raga, iklan rokok di TV ditayangkan pada jam 22.00 Wib ke atas dan perusahaan rokok yang ingin promosi di media cetak harus mentaati peraturan dari pemerintah.
Menurut menteri kesehatan (Menkes), Nafsiah Mboi, Indonesia telah gagal melindungi rakyat karena jumlah perokok tak berkurang tapi meningkat dan rokok salah satu penyebab kematian dan kecacatan manusia di muka bumi. Dia memberikan contoh sekitar 6 juta orang meninggal atau 80 persen berasal dari negara berkembang. Sementara di Indonesia mencapai 200.000 orang. (Sindo, 22/09/2012).
Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa merokok haram hukumnya. Fatwa ini menimbulkan pro kontra di kalangan tokoh agama. Padahal industri rokok menyumbang negara triliun rupiah pertahun, tak heran jika pemerintah menetapkan industri rokok sebagai salah satu perusahaan yang diperioritaskan.
Dari tahun ke tahun pecandu rokok terus meningkat, bak jamur dimusim penghujan yang sulit dicegah masa pertumbuhannya. Indonesia terkesan sebagai surganya perokok
Buku
Sekarang buku dijadikan ajang perang antara anti dan pro rokok. Buku yang selama ini menjadi rujukan berbagai sumber ilmu sekejap sirna. Pembaca seakan-akan dibuat bingung. Perang buku begitu sengit, komunitas anti rokok menerbitkan buku semisal, buku berjudul “Pembunuhan berbahaya itu bernama rokok”, (Muhammad Jaya, 2009). “Upaya menuju generasi tanpa rokok”, (Umi Istiqomah, 2003) dan sebagainya. Buku ini menjelaskan, sebatang rokok yang dihisap mengandung 4000 senyawa kimia, 200 beracun, dan 43 lagi pemicu kanker dan berupaya mencegah generasi kecanduan rokok.
Gencarnya Kritikan terhadap rokok, terbit lah buku tandingan. Semisal, buku berjudul, “Membunuh Indonesia, konspirasi global penghancuran kretek”, (Abhisam DM dkk, 2011). “Devini kretek rokok sehat” (Sutiman B. Sumitro dkk, 2012) dan sebagainya. Buku ini membeberkan industri rokok kretek lokal sebagai warisan budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Konsumsi rokok tidak menyebabkan penyakit, sebaliknya rokok bisa jadikan obat. Bahkan buku ini menuding iklan anti rokok sarat kepentingan asing.
Dalam buku “Perempuan Bicara Kretek” karya Abmi Handayani (2012), mengutip pendapat Arief Budi Winarto dari peneliti bioteknologi lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI). Dia menemukan reactor penghasil protein growth colony stimulat ing factor (GCSF) dalam tembakau. GCSF salah satu hormon yang membantu stimulant produksi darah dan memulihkan jaringan sel yang rusak.
Gempuran idiologi bertubi-tubi menyerang, masyarakat berpandangan miring tentang rokok sehat dan kurang sehat. Buku sebagai sumber ilmu menyebar ancaman yang mencuci otak. Namun masyarakat harus pandai-pandai menyeleksi informasi. Sudah saatnya perusahaan rokok, petani tembakau, pemerhati kesehatan dan pemerintah duduk satu meja mencari jalan keluarnya. Agar masyarakat tak terombang-ambing oleh arus.
Bagaimana bila tembakau tanpa campuran yang dihisap? Apakah menimbulkan efek seperti yang dikhawatirkan para pakar kesehatan atau sebaliknya menjadi penawar racun. Entah lah… (*)
Penulis adalah Pengaji Sosial Budaya di Pancur Studies dan Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Dimuat Koran Muria 9 September 2016
http://www.koranmuria.com/2016/09/09/44732/antara-rokok-sehat-dan-tidak-sehat.html
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !