Selamatkan Pulau-pulau di Perbatasan

Tuesday 15 May 2012


Oleh Fathurozi

Sejak sekolah dasar (SD), anak didik dikenalkan, Indonesia terdiri dari beberapa pulau, bahkan siswa sampai hafal luar kepala, hingga SMP dan SMA, diperdalam dengan mata pelajaran (MP) Geografi. Namun kondisi kelautan atau pulau tak kunjung membaik, justru sebaliknya semakin membruk.

Indonesia 3/5 wilayah perairan, dikelilingi kurang lebih 17.508 pulau, yang menyimpan banyak kekayaan sumber daya hayati dan non hayati, kekayaan tersebut belum tentu dimiliki Negara lain. Manusia di negara ini, hidup ditengah-tengah air, karena tiap daerah di kelilingi air laut,  jika tidak dapat mengelola, akan tenggelam dan hanyut tanpa tujuan

Berdasarkan  United Nations Convention on the Law of the Sea (UNLOS), Deklarasi Djoeanda (13-12-1957), Deklarasi Bunaken (26-9-1998) sebagai tindak lanjut The Ocean Charter, dan Deklarasi Benua Maritim Indonesia di Makasar (18-12-1998). Deklarasi ini, memiliki visi pembangunan negara kesatuan RI berorientasi kelautan atau maritim. Namun pemerintah kurang fokus mengembangkan potensi kekayaan laut.

Melihat potensi yang sangat besar Abdurahman Wahid, melakukan gebrakan yang menajupkan dengan membentuk Departeman Kelautan dan Perikanan, kelihatannya Gusdur menafsirkan kelautan sebagai raksasa ekonomi tidur (Khudori, tempo, 09 Janurai 2010). Atas dobrakan ini pendapatan Negara meningkat, tak hayal hingga saat ini pemerintah masih mempertahankanya.

Wilayah yang didominasi kelautan meliputi daerah Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. Namun daerah ini rawan konflik antar, semisal tahun 2002, Malaysia melalui sidang Mahkamah Internasional memenangkan sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak sebelah timur Kalimantan dan Pulau Jemur, Riau, dimasukan dalam paket tujuan wisata negara Malaysia, lihat situs traveljournals.net. Kasus-kasus semacam ini tak asing lagi terdengar khalayak umum.

Gerakan 100 Rupiah
Pengenalan tentang negara maritim atau kelautan tidak hanya diperoleh dari bangku sekolah, tapi lewat lirik lagu pelaut, nenek moyangku orang pelaut / gemar mengarungi luas Samudra/menerjang ombak tiada takut/……/......../pemuda berani bangkit sekarang. Begitu bangganya siswa-siswa menyanyikan lagu tersebut, namun realita sekarang nyanyian itu, tak terbukti karena para nelayan tak mampu mengarungi Samudra, kondisi ini diperparah kerusakan ekosistem laut, sehingga pengkapan ikan menurun.

Dari problem hilangnya pulau dan kerusakan laut, sebenarnya bisa ditanggulangi dengan gerakan 100 rupih, uang pecahan yang sering dipandang remeh, berubah jadi bom waktu yang menggetarkan dunia.

Gerakan ini, diterapkan pada masyarakat pesisir, semisal desa A yang terletak dekat laut, dengan jumlah penduduk 500 kepala keluarga (KK), tiap KK diharuskan menyisihkan uang recehan sebesar 100 rupiah tiap hari, 100 rupiah X 500 KK = 500 ribu, 500 ribu x 30 hari = 1.500,000 kemudian 1.500,000 x 12 bulan = 18.000,000. Iuran ini bersifat kesadaran dan tidak memaksa.

Nantinya uang tesebut dialokasikan untuk pembiayaan yakni pertama, workshop tentang, home industri meliputi pengelolahan ikan dan kerajinan. Kedua, mendirikan koperasi yang diperuntukan bagi masyarakat desa tersebut, ketiga pemeliharaan lingkungan artinya tiap satu bulan sekali diadakan resik-resik laut, keempat, keamanan artinya peningkatan pengawasan dan mencatat kapal-kapal yang singgah didesanya, Kelima, memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak nelayan.

Selama ini, kapal-kapal berbendera asing masuk ke perairan Indonesia, memanfaatkan kelemahan penjagaan di kawasan perbatasan. Dengan adanya program ini, diharapkan segala sesuatu yang mengarah kejahatan dapat dicegah. Di sisi lain, ia (gerakan 100 rupiah) secara tidak langsung mengajarkan kesadaran akan pentingnya hidup berdampingan dengan alam.

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi