Lampu Kuning Penegak Hukum

Thursday 26 April 2012

Oleh Fathurozi

AKHIR-akhir ini, publik disuguhi pemberitaan mafia hukum. Mafia hukum melanda lembaga penegak hukum Indonesia. Kasus ini, mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan baik organisasi anti korupsi maupun akademisi. Raut wajah pelaku kurang menunjukan penyesalan sedikit pun. Mafia hukum ini, bekerja sebagai jaringan yang mengatur dan memperdagangkan perkara serta membentuk keputusan, masyarakat lebih mengenal dengan sebutan makelar kasus (Markus).


Markus di tubuh penegak hukum mencuat kepermukaan publik, berkat mantan Kabareskrim Komjen Susno Duaji mengungkap perkara korupsi 25 Miliar di Ditjen pajak oleh Gayus Tambunan pegawai negeri sipil (PNS) golongan IIIA. Dalam penanganan kasus ini, terjadi penyimpangan yang melibatkan pejabat polisi negara yakni Jenderal, Brigader Jenderal (Brigjen) RE, Brigjen EI dan kombes A.

Padahal kasus seperti ini, tidak asing terdengar di telinga masyarakat, rakyat pun kurang berani melawan tindakan itu, bahkan masyarakat terkesan pasrah. Mungkin saja mereka masih menaruh hormat pada petugas penegak hukum yang merupakan kepanjangan dari tangan Tuhan di dunia. Tapi penegak hukum menyalahgunakan kepercayaan itu, justru sebaliknya kurang mejalankan perintah yang diamanatkan oleh Tuhan dan rakyat.

Kekesalan masyarakat yang dipendam selama bertahun-tahun ini, meledak bagaikan bom waktu, membentuk perlawanan jejaring Facebook yakni, baikot bayar pajak. Masyarakat bingung mencari keadilan yang sebenarnya.

Di sisi lain, pelaku kejahatan kelas kakap mendapat perlindungan dari penegak hukum, jika dinyatakan bersalah, hukumannya lebih ringan daripada pencuri kelas teri. Hukum kerap kali kurang berpihak pada orang kecil, namun berpihak pada orang berduit.

Penegak hukum seharusnya ditakuti semua pelaku kejahatan karena tujuan dari hukum dan penghukuman adalah untuk membuat orang tidak melakukan kejahatan. Salah satu mazhab penghukuman, yakni deterrence (penggentarjeraan) yang berarti bahwa tidak dilakukannya tindakan pelanggaran hukum karena pertama takut penghukuman (general deterrence atau penggentar).

Kedua, takut dihukum karena pernah mengalami penghukuman (specific deterrence atau penjera). Artinya, efek ‘gentar’ ditujukan kepada masyarakat luas agar takut berbuat jahat karena penghukuman. Efek ‘jera’ untuk si pelaku kejahatan agar tidak lagi mengulang perbuatannya, (Mustofa,2007).

Namun, realita di lapangan sebaliknya, sifat “jera” hanya terjadi pada pelaku kriminal biasa seperti pencuri ayam, sepeda motor. Sedangkan bagi pelaku korupsi, markus kurang memberi efek “jera”. Bahkan, berusaha mereka-reka hukum untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, bila perlu membuat undang-undang sendiri, agar terhindar dari jeratan hukum

Membumi
Tingkah laku koruptor sulit dibedakan dengan orang yang tidak terlibat korupsi. Kelihatannya korupsi sudah membumi dan membudaya dalam diri, masyarakat melakukan perbuatan tersebut, dengan sadar tanpa ada paksaan bahkan dianggapnya hal yang wajar sebagai imbal jasa.

Masyarakat modern, tiap tersandung hukum, tidak mau ribet dengan masalah tersebut, mereka memilih damai di tempat atau melalui markus, padahal jika mematuhi hukum, hukuman yang diterima pelaku lebih ringan daripada memilih jalan pintas karena dengan jalan pintas, harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menyuap beberapa oknum pejabat yang terkait.

Budaya penggelapan, suap menyuap sudah terjadi sejak tahun 1805, bermula dari orang pribumi yang menyerahkan umpeti pada Nicholas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, sogokan yang meinginkan jabatan. Waktu itu, kesan masyarakat pribumi gila pangkat maka dari itu mereka (masyarakat pribumi) berlomba-lomba menyuap Gubernur dengan nilai besar karena umpeti terbesar lah yang layak di beri jabatan, bahkan suap menyuap sudah mendarah daging ke masyarakat.

Tak heran, kasus korupsi di Indonesia ibarat bola salju sekali mengelinding membentuk bulatan besar. Berdasarkan survei Transparency Internasional, mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia menunjukan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei.

Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).

Lebih lanjut data yang di lansir Transparency International yaitu “Barometer Korupsi Global 2006”, menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33). Indonesia berhasil mempertahankan prestasinya yakni peringkat ketujuh sebagai bangsa terkorup.

Sedangkan dalam catatan Litbang Kompas, tahun 2005-2009 terjadi kasus korupsi besar di 21 lembaga seperti penegak hukum, BUMN, departemen, birokrasi, pemerintah daerah, Parpol, hingga anggota parlemen.

Melihat fenomena ini, masyarakat tercengang, rasanya kurang percaya apa yang terjadi di Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Selama ini, jerih payah rakyat membangun bangsa yang bermartabat malah dirampok bandit-bandit tak bermoral di tengah jalan.

Jika penegak hukum, kurang bisa memulihkan kepercayaan masyarakat, dikhawatirkan bermunculan gerakan perlawanan terhadap pejabat yang korup yang justru akan memecah belah bangsa. Perlawanan banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial atau pembagian barang dan jasa, (Barington Moone (1978).

Terkadang kita, meragukan keseriusan penegak hukum dalam pemberantasan markus, pejabat yang terlibat, hukuman paling berat copot jabatan dan mutasi atau pindah kantor dinas, ternyata, kurang memberikan efek signifikan, bahkan, mereka melakukan terang-terangan. Sudah saatnya pemerintah ambil sikap tegas, semisal dikenai hukuman pecat secara tidak hormat. Pejabat akan berpikir dua kali, melakukan kesalahan tersebut karena satu-satunya sumber pendapatan yang menjamin masa depan melayang.

Sebenarnya tindakan korupsi bisa dicegah, mulai dari kelompok kecil yakni keluarga, kepala keluarga bersikap jujur mengenai gaji, pada sang istri secara tidak langsung telah mengajari anggota keluarga yang lain. Dalam tingkat pendidikan, perguruan tinggi (PT) yang mencetak intelektual, seharusnya menerapkan mata kuliah (MK) anti korupsi yang bisa dikolaborasikan dengan ilmu sosiologi. MK ini, membelajari teori-teori tindakan korupsi yang terjadi di masyarakat. Selain itu, pratek lapangan, secara kelompok mahasiswa melakukan pengamatan di PT, misal buku-buku, software bajakan, absen, jual beli nilai dan lain-lain. Hasilnya akan didiskusikan bersama, kemudian pihak birokrasi akan menintindaklanjuti temuan-temuan itu.

* Penulis adalah Ketua Komunitas Mahasiswa Kreatif (KMK)

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Modifikasi Website | cucubumi